Keluarga Rajapaksa, termasuk mantan perdana menteri Mahinda Rajapaksa, telah mendominasi politik negara berpenduduk 22 juta jiwa itu selama bertahun-tahun. Sebagian besar warga Sri Lanka menyalahkan mereka atas masalah yang terjadi saat ini.
Ekonomi Sri Lanka yang bergantung pada pariwisata sangat terpukul oleh pandemi COVID-19 dan penurunan pengiriman uang dari warganya yang bekerja di luar negeri, sementara larangan penggunaan pupuk kimia telah menurunkan hasil pertanian. Larangan itu kemudian dibatalkan.
Pemerintahan keluarga Rajapaksa menerapkan pemotongan pajak populis pada 2019 yang mempengaruhi keuangan pemerintah sementara penyusutan cadangan devisa negara telah membatasi impor bahan bakar, makanan dan obat-obatan.
Penggunaan bahan bakar di negara itu sangat dijatah dan antrean panjang terbentuk di depan toko-toko yang menjual gas untuk memasak.
Inflasi utama di Sri Lanka mencapai 54,6 persen pada Juni dan bank sentral telah memperingatkan bahwa itu bisa naik menjadi 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.