Aritmia juga meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke 4 – 5 kali lebih besar dibanding yang tidak mengalami aritmia. Data CDC tahun 2017 menyebutkan bahwa aritmia menyebabkan stroke iskemik sebesar 15 persen – 20 persen.
Untuk mendiagnosa aritmia, dokter akan mengevaluasi gejala dan riwayat medis pasien melalui pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti Elektrokardiografi (EKG), Treadmill Test, Holter Monitor, dan Electrophysiology Study (EP Study).
Baca juga: Maura Magnalia putri Nurul Arifin-Mayong meninggal dunia karena henti jantung
“Electrophysiology Study adalah golden standard untuk mendiagnosa aritmia. Dengan pemeriksaan ini, dapat dipetakan aktifitas listrik jantung sehingga titik penyebab gangguan kelistrikan jantung dapat diketahui. Berdasarkan hasil EP Study dapat ditentukan jenis aritmia dan terapi yang dibutuhkan untuk mengembalikan irama jantung normal.” kata dr. Rerdin.
Penanganan aritmia disesuaikan dengan jenis aritmia yang dialami pasien," kata dr. Agung Fabian Chandranegara, SpJP(K), Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan Aritmia, Mayapada Hospital Tangerang.
"Tindakan berupa pemasangan alat pacu jantung atau pacemaker biasanya digunakan untuk kasus aritmia di mana jantung berdenyut lebih lambat dari normal. Tindakan lain yaitu ablasi jantung merupakan tindakan untuk mengkoreksi aritmia dengan cara memasukkan kateter melalui pembuluh darah sampai ke jantung. Elektroda pada ujung kateter dilengkapi dengan energi radiofrekuensi untuk mengablasi titik tertentu pada jantung yang menyebabkan aritmia sehingga jantung dapat kembali berdenyut normal."