Depok (ANTARA) - Tim mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) berhasil menjadi satu-satunya delegasi pertama dari Indonesia yang masuk ke tahap "oral pleading" pada ajang The 19th Oxford Intellectual Property Moot Court Competition.
Anggota tim mahasiwa FH-UI itu adalah Almer Theda Alana, Divka Talulla, dan Gracella Maureen.
"Persiapan kami lakukan sejak bulan November 2021. Dari November sampai Desember kami menyiapkan memorial tertulis untuk dikirimkan ke panitia. Pada 31 Januari, Alhamdulillah diumumkan bahwa kami lolos babak kualifikasi tertulisnya dan kami secara resmi untuk dapat langsung berdiskusi dan membela argumen kami dalam kompetisi tersebut," kata Divka Talulla dalam taklimat media yang diterima ANTARA di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Rabu.
Baca juga: Mahasiswa FHUI ikut sumbang emas renang artistik di PON XX Papua
Oxford Intellectual Property Moot Court Competition merupakan salah satu kompetisi peradilan semu Hak Kekayaan Intelektual paling bergengsi di ajang lomba internasional yang diselenggarakan University of Oxford, Inggris.
Setiap tahun, sekitar 30 tim dipilih untuk putaran pertama berdasarkan pengajuan tertulis. Pada kompetisi ini, masalah yang diperdebatkan berkaitan dengan berbagai rezim kekayaan intelektual.
Selama kompetisi, tim FHUI melewati sebanyak empat ronde dengan lawan dari berbagai universitas di dunia, seperti Singapore Management University (Singapore), Indiana University Maurer School of Law (United States), University of Greenwich (United Kingdom), dan University of New South Wales (Australia).
Dari keempat ronde tersebut, tim FHUI memenangkan 3 ronde, sehingga, tim berhasil di posisi 12 diantara puluhan universitas ternama seluruh dunia.
Setiap tim, kata Divka Talulla, wajib membawa tiga isu, yaitu hak cipta, "passing off", dan indikasi geografis. Dalam kompetisi ini akan dinilai cara berargumen, dasar hukum yang digunakan, dan tingkat persuasif masing-masing tim.
“Yang menjadi tantangan adalah ada perbedaan dalam sistem hukum. Seperti yang kita tahu, Inggris adalah negeri dengan hukum Anglo Saxon, jadi mereka lebih mempertimbangkan kasus-kasus lalu yang sudah disetujui oleh hakim, sehingga ada banyak kasus bacaan yang harus kita baca dan remind," kata Gracella.
Baca juga: Vaksin COVID-19 harus tersedia bagi semua lapisan masyarakat
Sedangkan di Indonesia, kata dia, lebih ke sistem Eropa Kontinental yang hanya melihat pada Undang-Undang. Jadi, tantangan terbesar kami adalah dalam mengadaptasi sistem hukum yang berbeda seperti ini.
Lebih lanjut, ia memberikan pandangannya terkait Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.
Menurutnya payung hukum di Indonesia terkait Hak Kekayaan Intelektual sudah cukup kuat, namun yang menjadi persoalan adalah sosialisasi kepada masyarakat luas, cara mereka dapat menerapkan dan menggunakan payung-payung hukum tersebut.
"Misal, seperti para petani atau produk-produk agriculture di Indonesia bisa mencari cara untuk melindungi produk-produknya," demikian Gracella.
Tim FH-UI lolos tahap "oral pleading" kompetisi di Universitas Oxford
Rabu, 11 Mei 2022 19:37 WIB