ANTARAJAWABARAT.com,24/4- Ancaman pidana untuk suatu pelanggaran yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan disamakan dengan perbuatan sejenis yang diatur dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana.
Dirjen Aplikasi Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ashwin Sasongko, dalam seminar "Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Indonesia 2012" di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan penyesuaian ancaman pidana tersebut akan dilakukan melalui revisi UU Informasi dan Transaksi Eelektronik (UU ITE) yang saat ini sedang dibahas oleh Kemkominfo.
"Ancaman pidananya akan disesuaikan dengan KUHP, karena banyak yang protes ancaman pidana dalam UU ITE itu jauh lebih tinggi daripada yang diatur dalam KUHP," jelasnya.
Protes itu, menurut dia, datang dari berbagai kalangan termasuk media, terutama setelah mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang dijerat dengan UU ITE untuk tuduhan pencemaran nama baik.
UU ITE mengatur ancaman pidana hingga enam tahun untuk kasus pencemaran nama baik, sedangkan KUHP menyatakan ancaman pidana untuk kasus tersebut selama sembilan bulan.
Berdasarkan protes dari berbagai kalangan itu, kata Ashwin, maka revisi UU ITE akan menyesuaikan ancaman pidana untuk perbuatan sejenis yang diatur dalam KUHP.
"Sekarang naskah akademisnya sedang dipelajari dan disusun," ujarnya.
Selain itu, Ashwin mengatakan penyesuaian ketentuan pidana materiil dan acara pidana untuk kasus ITE dengan norma hukum pidana secara nasional lebih tepat guna dan mudah dalam penerapan.
Revisi UU ITE, menurut dia, juga dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan teknologi informasi terkini dengan regulasi yang harus diatur oleh pemerintah.
"Pada prinsipnya UU ITE itu melindungi sistem informasi yang baik agar terjaga keutuhan dan keamanannya," katanya.
Selain mempersiapkan revisi UU ITE, saat ini Kemkominfo juga tengah menyiapkan RUU Intersepsi sebagai peraturan praktik penyadapan setelah Mahkamah Konsitusi (MK) membatalkan salah satu ayat dalam UU ITE yang menyatakan tata cara penyadapan bisa diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP).
"Karena MK membatalkan pasal tersebut maka pemerintah harus menyiapkan RUU Intersepsi ini supaya masyarakat merasa aman dan mereka yang melakukan intersepsi juga merasa aman melalui pengaturan yang jelas," demikian Ashwin.
***1***
Diah