Bandung (ANTARA) - -
Oleh: Prof. Dr. Endang Rochyadi, M.Pd
Pembahasan tentang intervensi dalam perspektif pendidikan khusus bagi anak dengan hambatan intelektual penting untuk dikaji ulang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Mencermati implementasi pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual yang belum optimum dan kurang menguntungkan dalam mengembangkan kompetensinya, disenyalir sebagai akibat pemaknaan terhadap prinsip-prinsip dasar dalam intervensi yang dilakukan masih berpegang pada cara-cara lama yang tidak lagi sejalan dengan filosofi intervensi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uraian ini dimaksudkan untuk mengkaji kembali konsep; mengklarifikasi apa, mengapa, dan bagaimana intervensi dilakukan dalam perspektif pendidikan khusus serta implikasinya dalam cara-cara membelajarkan anak dengan hambatan intelektual agar mereka benar-benar belajar dan berkembang secara optimum.
Ada dua alasan kenapa topik ini diangkat untuk dikaji ulang. Pertama; esensi intervensi dalam perspektif layanan pendidikan khusus anak dengan hamabatan intelektual, didasarkan atas landasan filosofis sebagai upaya mendasar pendidikan dalam membantu menyelesaikan sumber masalah terjadinya kegagalan belajar mereka. Istilah "intervensi" sebagai upaya dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual masih dimaknai sebatas "mengajar" yang hanya melihat anak dengan mengabaikan keterlibatan keluarga sebagai prinsip-prinsip mendasar dalam intervensi. Kedua; upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kegagalan belajar anak dengan hambatan intelektual, seorang intervensionis masih berpegang pada upaya-upaya lama yang disebut remedial. Dalam perspektif pendidikan khsusus cara-cara seperti itu sudah lama ditinggalkan karena dipandang tidak cocok dengan kaidah dan prinsif belajar dalam pendidikan khusus.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan selama ini, terkait masalah interevensi berbasis keluarga menunjukan hasil yang signifikan terhadap perubahan perilaku dan sikap penerimaan keluarga terhadap kondisi anaknya menjadi sangat terbuka. Disisis lain perkembangan belajar anak baik secara akademik maupun perkembangan dapat diaktualisasikan keluarga dengan baik.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut di dukung atas hasil yang diperoleh melalui project based learning dalam perkuliahan “asesmen dan intervensi” pada program studi S2 dan S3 yang ditekuni sejak tahun 2010 sampai saat ini, menunjukkan hasil yang sangat baik, bahkan di luar ekspektasi yang ditargetkan, terkait dengan pemahaman dan keterampilan orang tua serta dampaknya terhadap perubahan perilaku yang dihadapi anak-anaknya. Dalam banyak testimoni; diakui bahwa perkembangan yang ditunjukkan anaknya menjadi lebih pesat dibandingkan perkembangan sebelumnya. Dampak langsung kepada keluarga; seperti sikap penerimaan, rasa percaya diri, mengisolasi anak, pudarnya hal-hal yang bersifat mistik dan pengalihtanganan kemampuan serta keterampilan yang dilakukan dalam praktik-praktik intervensi berhasil dilakukan keluarga secara mandiri. Berdasarkan fakta-fakta itu, saya memiliki keyakinan kuat perlunya re-orientasi dalam melakukan intervensi. Kolaborasi antara pihak sekolah dengan keluarga secara penuh, komprehensif, inten dan berkesinambungan di dalam memberikan layanan pendidikan, memjadi sangat mendasar.
Pemberian intervensi yang dilakukan sebagaimana “mengajar biasa” perlu segera dikembalikan pada makna dan prinsip-prinsip mendasar intervensi dalam pendidikan bagi anak dengan hambatan intelektual. Dalam pendidikan, Intervensi dipandang sebagai keterlibatan seseorang untuk memberi bantuan secara inten, cermat dan tajam. Dalam perjalanannya, istilah intervensi muncul ketika dirasakan adanya kegagalan dalam pendidikan. Untuk mengatasi kegagalan saat itu dilakukan upaya yang disebut remidial. Dalam pengajaran remedial, anak diberi pengulangan dari ketertinggalan teman sekelasnya. tanpa melihat apa yang terjadi dibalik kegagalan tersebut. Dalam perspektif pendidikan khusus, cara-cara seperti itu telah lama ditinggalkan karena dipandang terlalu umum dan kasar. Fokus sasaran dalam intervensi, tidak hanya menyangkut masalah kegagalan dalam belajar, tetapi lebih cermat dan spesifik dibalik munculnya kegagalan yang digali melalui proses asesmen secara mendalam. Seorang intervensionis yang menangani anak dengan hambatan intelektual harus dapat meningkatkan ambang toleransi dalam menetapkan keputusannya secara tepat, sebab intensitas perhatian dalam intervensi tidak hanya melihat rendahnya capaian nilai atau prestasi akademis, melainkan aspek-aspek lain yang menyertainya.
Ada tiga fase perkembangan dalam intervensi; pertama; seseorang dikatakan intervensionis, jika ia dapat menyelesaikan tindakan-tindakan intervensinya langsung kepada anak. Paradigma ini didasarkan dari cara pandang model medis yang memandang bahwa anak adalah subjek yang memiliki masalah. Jadi anak dipandang sebagai sumber masalah. Cara pandang ini masuk dalam dunia pendidikan dengan cara memberikan treatment atau remedial pada anak, agar kelemahan dan hambatan itu dapat diatasi (Dunst, 2005).
Pada Fase kedua; mulai terjadi pergeseran cara pandang di dalam melakukan intervensi sejalan dengan munculnya teori ekologi perkembangan manusia (ecological social system theory) yang memandang hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan dalam membentuk tingkah laku individu. Dari cara pandang ini, para ahli intervensi mulai menekankan pentingnya lingkungan keluarga dalam melakukan intervensi, sekalipun asumsi yang digunakan masih bersandar kuat pada model medis sebagaimana pada fase pertama, Fase tiga, dimana terjadi pergeserean dari cara pandang model medis ke cara pandang model sosial dan intervensionis mulai menempatkan keluarga secara inten. Dalam prakteknya; intervensi dilakukan secara bersama-sama melalui proses mediated learning. yaitu proses pengalihtanganan secara terbimbing pada keluarga yang didasarkan atas masalah, hambatan dan kebutuhan yang dihadapi anaknya. Intervensi dilakukan sebagai upaya memberdayakan keluarga agar dapat berfungsi di dalam melakukan tindakan-tidakan pedagogis secara tepat dibawah bimbingan langsung seorang intervensionis.
Terkait dengan hal ini (Dunst, 2005) secara tegas menyatakan bahwa “tugas seorang intervensionis tidak lagi secara langsung menangani anak, malainkan melakukan proses pengalihtanganan kompetensi kepada keluarga sesuai masalah yang dihadapinya. Meminjam pernyataan (Meisels :1990), bahwa “program intervensi berorientasi keluarga adalah yang paling menjanjikan bagi keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan secara nyata memberi efek positif pada perkembangan anak yang mempunyai masalah gangguan motorik, dan keterbelakangan mental. Dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat, memahami dan mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit dimenifestasikan oleh anak ini tanpa keterlibatan orang dewasa secara langsung. Belajar apapun pada mereka harus terkait dengan obyek yang konkrit sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan ide atau gagasan. Oleh karena itu tidak mengherankan, jika mereka dalam mempelajari sesuatu kerap kali melakukannya dengan trial and error. Mereka mengalami kesulitan untuk menemukan kaidah dalam belajar, sehingga terkesan miskin akan gagasan dan sulit untuk membuat generalisasi. (Dunst (2005)
Apabila kita merujuk pada prinsip intervensi, kemudian kita kaitkan dengan musibah pandemik Covid-19 yang terjadi saat ini, menjadi sangat relevan. Relevansi ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi dalam proses pembelajaran secara online, dalam banyak fakta, cara-cara seperti ini banyak menimbulkan masalah baru, baik bagi anak, guru, terlebih bagi keluarga. Akibatnya; proses pembelajaran secara online menimbulkan learning loss secara berkepanjangan. Hasil survei yang dilakukan peneliti di 16 provinsi di Indonesia tentang implementasi pembelajaran secara online ditemukan; seperti; aktivitas belajar siswa secara online tidak aktif dan mudah bosan akibatnya tingkat penguasaan materi dinilai rendah. Sementara yang menjadi keluhkan orang tua, seperti sulitnya memotivasi anak belajar dan kesulitan bagaimana cara membelajarkan agar anak belajar. Pertanyaannya; bagaimana intervensi secara online dapat diimplementasikan dengan baik mengingat prinsip, kaidah dan gaya belajar anak dengan hambatan intelektual memiliki keunikan sendiri-sendiri?
Untuk menjawab dan mengimplementasikan gagasan proses intervensi secara online pada anak dengan hambatan intelektual diperlukan adanya reorientasi dalam pembelajaran. Reorientasi yang dimaksud adalah mengembangkan fokus sasaran, yaitu memberdayakan keluarga. Seorang intervionis tidak cukup melakukan tindakan intervensi langsung kepada anak, melainkan membangun kompentensi orang tua. Kolaborasi antara keluarga dan sekolah adalah jembatan penting dalam melakukan skema intervensi baik secara daring, luring maupun blanded learning
Dari uraian tadi dapat disimpulkan; pertama; perlu adanya redefinisi pembelajaran bagi anak dengan hambatan intelektual dalam konteks intervensi dan kedua; praktik pembelajaran dalam nuansa intervensi harus menjadi budaya dalam pemberian layanan pendidikan anak dengan hambatan intelektual. Implikasinya; Sekolah sebagai institusi formal hendaknya memfasilitasi dan melakukan kolaborasi dengan keluarga secara intens, terprogram dan sistematis. Di sisi lain; kolaborasi antara guru dan keluarga hendaknya menjadi prinsip di dalam memberikan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas, khususnya bagi anak dengan hambatan intelektual untuk menempatkan dan memposisikan keluarga sebagai fartner kerja.
*) Guru Besar UPI Bidang Ilmu Pendidikan Khusus Anak dengan Hambatan Intelektual.
(Artikel diambil dari pidato saat pengukuhan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, 24 November 2021 di Gedung Achmad Sanusi UPI Bandung)
Artikel - Intervensi Anak dengan Hambatan Intelektual dalam Perspektif Pendidikan Khusus
Kamis, 25 November 2021 8:14 WIB