Jakarta (ANTARA) - Tahun 2020 merupakan tahun yang sangat krusial bagi kelompok Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC).
Tidak hanya capaian selama seperempat abad dirayakan melalui impelementasi free and open trade of Bogor Goals, tetapi kita juga dihadapkan pada sebuah persimpangan: mengakui adanya persaingan antara kekuatan besar atau melakukan kolaborasi dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Ketika diserukan oleh Indonesia dan Pemimpin APEC lainya pada 16 November 1994 silam, Bogor Goals menjadi harapan untuk menyatukan aspirasi masyarakat, baik dari ekonomi berkembang maupun ekonomi maju.
Bogor Goals diajukan untuk menghadapi tantangan pada saat itu, yakni globalisasi. Tujuan itu ditargetkan selesai pada 2020.
APEC, Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik yang didirikan pada 1989, saat ini beranggotakan 21 negara dan wilayah.
Ke-21 negara anggota itu adalah Indonesia, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, Amerika Serikat, dan Vietnam.
Sejak Bogor Goals dideklarasikan, ekonomi APEC telah menikmati kemajuan yang baik dalam peningkatan perdagangan dan investasi, sekaligus mengurangi kemiskinan.
Total perdagangan barang di APEC meningkat hampir empat kali lipat antara tahun 1994 hingga 2019, dari 4,1 triliun dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 19 triliun dolar AS dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 6,7 persen per tahun.
Terdapat tren di antara ekonomi APEC untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, terdapat tren penurunan angka kemiskinan di kawasan APEC dengan menurunnya jumlah orang miskin, dari 1.4 miliar pada 1994 menjadi 240,4 juta pada 2018.
Melalui komitmen yang ada pada Bogor Goals, para anggota APEC mengakui bahwa pertumbuhan dan perkembangan yang sukses dari ekonomi mereka bergantung pada keterbukaan dan stabilitas global serta pasar regional.
Namun, selama beberapa tahun terakhir sebagian negara-negara anggota telah menggunakan APEC bukan sebagai mesin pertumbuhan bersama, melainkan untuk proyeksi kekuatan dan kepentingan tertentu sehingga mengalihkan arah kerja sama di APEC.
Bukannya bergerak secara serempak menuju tingkat yang lebih tinggi pada kerja sama dan pertumbuhan ekonomi regional, perbedaan pandangan telah menghambat kolaborasi yang lebih dalam dan memberikan pesan yang tidak jelas kepada dunia.
Meningkatnya ketegangan dan perselisihan antara ekonomi besar bertentangan dengan semangat APEC.
APEC perlu kembali pada rasion-d’etre (alasan atau tujuan terpenting) sebagai forum utama kerja sama Asia-Pasifik. Sangatlah penting untuk tidak hanya bertahan dari tantangan global, namun juga memimpin jalan untuk pemulihan global.
Melalui konferensi tingkat tinggi (KTT) APEC virtual pertama yang diketuai oleh tuan rumah Malaysia, para pemimpin APEC telah menginisiasi visi baru untuk tahun 2040 yang dibangun berdasarkan semangat Bogor.
Putrajaya Vision akan menjadi kompas baru untuk 20 tahun ke depan. Hal itu menandakan momentum untuk memperkuat kepercayaan strategis dalam mencapai komunitas Asia Pasifik yang terbuka, dinamis, tangguh, dan damai pada 2040, untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebagai forum utama di Asia-Pasifik, APEC harus sekali lagi memberi loncatan dalam perkembangan. Akan tetapi, loncatan yang diperlukan bukan hanya loncatan dalam mengatasi pandemi atau pun hanya lompatan awal dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi setelah gelombang resesi.
APEC harus memberi loncatan ke depan untuk mendirikan normal baru (new normal) untuk pertumbuhan regional, di bawah kesempatan yang kian berkembang dari penguatan sistem perdagangan multilateral, konektivitas yang lebih baik, ekonomi digital, dan perkembangan berkelanjutan.
APEC harus membuat loncatan untuk membentuk dunia dengan pertumbuhan yang berkualitas, yang di dalamnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pengusaha wanita, dan pelaku ekonomi di pedalaman dapat mengambil manfaat dari APEC yang lebih terhubung satu sama lain.
Sebagaimana Presiden RI Joko Widodo sampaikan pada APEC CEO Dialogue dan KTT APEC, Indonesia akan terus mendambakan pertumbuhan yang berkualitas dalam kawasan APEC dan terus mendorong win-win solutions, hasil nyata, dan kerja sama yang saling menguntungkan melalui forum utama ini.
Dalam perannya, Indonesia akan berkontribusi dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif melalui pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law, sebagai bagian dari reformasi struktural yang diperlukan untuk menciptakan industri yang kompetitif.
Loncatan dalam bentuk Omnibus Law itu sangatlah penting untuk memberdayakan kalangan pemuda dan generasi milenial Indonesia, untuk menjadi pemimpin pada 2040.
Seiring dengan waktu yang berjalan untuk mencapai tujuan Putrajaya Vision, Indonesia berencana berdiri dengan sesama anggota ekonomi APEC dan masyarakatnya untuk mengapresiasi kesejahteraan bersama, yang telah diberikan oleh visi tersebut kepada kawasan.
Dengan manfaat yang diperoleh melalui cerminan ke belakang, anggota-anggota ekonomi APEC berharap untuk melihat kembali kepercayaan strategis yang diperlukan dalam membangun kawasan Asia-Pasifik saat ini sesuai dengan masa depan yang diinginkan, dimulai dari visi di Bogor pada 1994 dan ditutup dengan visi Putrajaya pada 2040.
*Penulis merupakan pejabat resmi Kementerian Luar Negeri yang terlibat pada proses APEC
Disclaimer: Pandangan yang diekspresikan pada artikel ini adalah pandangan pribadi dan tidak semata-mata merefleksikan posisi resmi dari institusi atau pemerintahan Indonesia.
Baca juga: Presiden Jokowi sampaikan tiga hal dalam KTT APEC 2020
Baca juga: Presiden Jokowi hadiri KTT APEC 2020 secara virtual malam ini
Dari Bogor ke Putrajaya: Bangun 'strategic trust' di APEC
Jumat, 27 November 2020 16:41 WIB