Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengungkap penanganan kebakaran hutan dan lahan saat ini sudah jauh lebih baik dan lengkap dibanding periode 1997-1998.
"Dan di masa pandemi ini juga didukung penerapan protokol kesehatan. Karena didukung kemarau basah jadi kebakaran berkurang," kata Sarwono dalam Editor Meeting The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) yang membahas Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi COVID-19 di Jakarta, Sabtu.
Menurut Sarwono, terkait karhutla besar yang terjadi di 1997-1998, ada arahan Presiden Soeharto di akhir 1996 untuk memperhatikan soal akan adanya kemarau panjang, yang ditindaklanjuti Kementerian Lingkungan Hidup dengan mengecek laporan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang memang memprediksi akan terjadinya kemarau panjang.
Namun, ia mengaku tidak menduga jika akan ada pembukaan lahan dengan cara membakar besar-besaran. Benar kebakaran terjadi dan belakangan akhirnya dirinya mengetahui kala itu membakar di saat kemarau dianjurkan Dirjen Perkebunan untuk mengurangi biaya pembukaan lahan.
"Para elite politik dan pejabat di pusat saat itu menyalahkan peladang berpindah. Saya lapor ke Pak Harto, dia hanya bilang ini krisis mu, atasi keadaannya. Waduh, saya pikir ini akan membahayakan," ujar Sarwono.
Ia mengatakan mencoba mengontak beberapa teman di Lapan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BMG yang ternyata kala itu terlantar. Badan yang memprakirakan cuaca itu ada di bawah Kementerian Perhubungan namun saat itu menteri terkait tidak tahu BMG merupakan bagian dari mereka.
Sarwono mengatakan juga mencoba mengontak sejumlah rekan lain dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan dan organisasi masyarakat. Dan yang merespons kala itu hanya Telapak, Wanadri dan Gerakan Pemuda Anshor yang sukarela membantu mengatasi karhutla.
Laporan kondisi karhutla dibuat dan diserahkan dengan cepat kepada Presiden Soeharto namun sense of crisis memang tidak ada saat itu. Upaya mengatasi kebakaran dilanjutkan dengan mendeteksi titik panas dengan bantuan Lapan dan BMG karena Singapura membuat laporan yang sama.
"Dengan susah payah kita bisa pantau. Atas dasar itu saya minta tambahan anggaran ke Menteri Keuangan namun ditolak. Akhirnya meminta sumbangan dan lain-lain, akhirnya asap sampai juga ke Malaysia dan Singapura," ujar Sarwono.
Perdana Menteri Mahathir Mohamad kala itu mengirimkan tim pemadam ke Indonesia yang sebenarnya dilakukan untuk menyindir Presiden Soeharto, ujar Sarwono.
"Saya melakukan pertemuan dengan pihak Malaysia dan Singapura di Kuching dan saya bilang silahkan kalau mau kerja bareng atasi ini berkoordinasi dengan Bapedal".
Untuk mengetahui lokasi-lokasi titik api di lapangan butuh peta, karenanya dirinya menghubungi Bakosurtanal kala itu yang sekarang menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG), namun Sarwono mengatakan tidak diberikan karena alasan rahasia. "Peta-peta yang saya perlukan itu saya ambil paksa jam 3 pagi supaya regu-regu pemantau bisa berangkat".
Pelajaran yang dapat diambil dari sana, kata Sarwono, adalah soal exersice crisis management. "Kalau perlu, aturan buruk dilanggar saja dan itu yang kami lakukan di Bapedal dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kita harus ambil risiko untuk lakukan hal benar. Ketika kita bersikap akan datang orang-orang yang berpandangan sama membantu kita".
Baca juga: Pembakar hutan di masa pandemi akan dihukum berat
Baca juga: Presiden Jokowi minta penegakan hukum karhutla tanpa kompromi