Bandung (Antaranews Jabar) - Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifudin, memberikan penghargaan kepada lima guru madrasah yang menginspirasi dan atas dedikasinya dalam mencetak generasi penerus bangsa meski menghadapi keterbatasan.
Kelima guru yang memperoleh penghargaan yaitu, Ahmad Haris (Alor, NTT), Untung (Sumenep, Jatim), Suraidah (Sebatik, Kaltim), Indra Ariwibowo (Semarang, Jateng), dan Supena (Lebak, Banten).
"Mereka adalah profil istimewa yang spirit dan perjuangannya menginspirasi kita semua. Negara dan bangsa ini berhutang kepada mereka," ujar Menag saat memberikan penghargaan di Hotel Harris, Kota Bandung, Sabtu.
Menurut Menag, para penerima penghargaan ini memiliki kesamaan, yaitu menghadapi keterbatasan fasilitas, minim kesejahteraan, dan berjibaku dengan kisah-kisah butuh perjuangan.
Meski begitu, semangat mereka untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh, berbagai macam rintangan itu dihadapi dengan keikhlasan. Kekuatan mereka dibentuk oleh kecintaan kepada anak-anak didik yang luar biasa.
"Kalau kita refleksikan kepada diri kita, belum kita sanggup melakukannya," kata dia.
Seluruh guru yang mendapat penghargaan seluruhnya berada di daerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Ahmad Haris misalnya, guru Madrasah di Pulau Bua, Alor, NTT. Ia harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dari rumahnya ke sekolah tempatnya mengajar di MI Pulau Bua, Alor.
Setiap hari pria 40 tahun ini harus keluar rumah pada pagi buta, berjalan tiga kilometer melewati hutan, lalu berenang menyebrangi selat sejauh satu mil hanya untuk mengajar. Hal ini dilakukannya selama 15 tahun terakhir dengan gaji guru madrasah yang tak seberapa nilainya.
Indra Ariwibowo, guru MI Luar Biasa Budi Asih, Semarang, Jateng. Ia menceritakan harus berjuang bersama muridnya yang pada awalnya hanya berjumlah empat orang di kelas yang selalu dilanda banjir ketika musim hujan tiba.
Bersama beberapa rekannya ia berhasil menghidupkan kembali sekolah tua yang sudah hampir tutup, mengubahnya menjadi sekolah untuk anak berkebutuhan khusus yang kini telah memiliki gedung tanah dan sendiri.
"Saya sendiri juga berkebutuhan khusus dalam pengelihatan low vision. Karena saya diberi amanah oleh pengurus yayasan yang sudah meninggal, titip jaga madrasah," kata dia.
Suraidah, seorang guru yang juga kepala sekolah MI Darul Furqan, Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara. Ia menceritakan, daerahnya merupakan kawasan terpencil dan berada dalam garis kemiskinan.
Bahkan untuk masalah dasar seperti seragam, sepatu, tas dan alat-alat sekolah masih kesulitan di dapat. Beberapa siswa yang memiliki saudara harus silih bergantian memakai seragam yang sama ketika bersekolah.
"Ada murid saya kakak beradik yang harus memekai satu baju seragam secara bergantian dengan adiknya yang mengambil kelas sore," kata dia.
Kemudian Supena, Guru Madrasah Al Ishlah di Lebak, Pandeglang, Banten. Setiap hari Supena harus menempuh jarak 15 kilometer untuk sampai ke tempatnya mengajar.
Baca juga: Menag: guru besar harus kritis terhadap isu-isu terkini
Bukan soal jarak, namun infrastruktur yang harus dilalui pun perlu perjuangan yang amat keras, apalagi ketika musim hujan, tanah sangat licin, dan sulit untuk dilalui kendaraan.
Hal lain yang menjadi tantangan Supena yakni meyakinkan masyarakat di sana bahwa pendidikan bagi anak-anaknya itu sangat penting. Menurut dia, masyarakat lebih menyuruh anak-anak bekerja dibanding sekolah.
"Tidak ada guru di sana. Orang-orang disitu lebih kebanyakan mencari kerja. Kerja dapet uang dari pada jadi belajar atau jadi guru," kata dia.
Terakhir, Untung, guru Madrasah Al Miftah di Sumenep, Madura, Jawa Timur yang merupakan penyandang disabilitas tuna daksa.
Meski tidak memiliki kedua tangan, ia tetap mampu memberikan inspirasi bahwa keterbatasan bukan menjadi penghalang dalam mendidik generasi penerus bangsa.
Baca juga: Menag: rumah ibadah jangan digunakan menyebar hoaks
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018
Kelima guru yang memperoleh penghargaan yaitu, Ahmad Haris (Alor, NTT), Untung (Sumenep, Jatim), Suraidah (Sebatik, Kaltim), Indra Ariwibowo (Semarang, Jateng), dan Supena (Lebak, Banten).
"Mereka adalah profil istimewa yang spirit dan perjuangannya menginspirasi kita semua. Negara dan bangsa ini berhutang kepada mereka," ujar Menag saat memberikan penghargaan di Hotel Harris, Kota Bandung, Sabtu.
Menurut Menag, para penerima penghargaan ini memiliki kesamaan, yaitu menghadapi keterbatasan fasilitas, minim kesejahteraan, dan berjibaku dengan kisah-kisah butuh perjuangan.
Meski begitu, semangat mereka untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh, berbagai macam rintangan itu dihadapi dengan keikhlasan. Kekuatan mereka dibentuk oleh kecintaan kepada anak-anak didik yang luar biasa.
"Kalau kita refleksikan kepada diri kita, belum kita sanggup melakukannya," kata dia.
Seluruh guru yang mendapat penghargaan seluruhnya berada di daerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Ahmad Haris misalnya, guru Madrasah di Pulau Bua, Alor, NTT. Ia harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dari rumahnya ke sekolah tempatnya mengajar di MI Pulau Bua, Alor.
Setiap hari pria 40 tahun ini harus keluar rumah pada pagi buta, berjalan tiga kilometer melewati hutan, lalu berenang menyebrangi selat sejauh satu mil hanya untuk mengajar. Hal ini dilakukannya selama 15 tahun terakhir dengan gaji guru madrasah yang tak seberapa nilainya.
Indra Ariwibowo, guru MI Luar Biasa Budi Asih, Semarang, Jateng. Ia menceritakan harus berjuang bersama muridnya yang pada awalnya hanya berjumlah empat orang di kelas yang selalu dilanda banjir ketika musim hujan tiba.
Bersama beberapa rekannya ia berhasil menghidupkan kembali sekolah tua yang sudah hampir tutup, mengubahnya menjadi sekolah untuk anak berkebutuhan khusus yang kini telah memiliki gedung tanah dan sendiri.
"Saya sendiri juga berkebutuhan khusus dalam pengelihatan low vision. Karena saya diberi amanah oleh pengurus yayasan yang sudah meninggal, titip jaga madrasah," kata dia.
Suraidah, seorang guru yang juga kepala sekolah MI Darul Furqan, Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara. Ia menceritakan, daerahnya merupakan kawasan terpencil dan berada dalam garis kemiskinan.
Bahkan untuk masalah dasar seperti seragam, sepatu, tas dan alat-alat sekolah masih kesulitan di dapat. Beberapa siswa yang memiliki saudara harus silih bergantian memakai seragam yang sama ketika bersekolah.
"Ada murid saya kakak beradik yang harus memekai satu baju seragam secara bergantian dengan adiknya yang mengambil kelas sore," kata dia.
Kemudian Supena, Guru Madrasah Al Ishlah di Lebak, Pandeglang, Banten. Setiap hari Supena harus menempuh jarak 15 kilometer untuk sampai ke tempatnya mengajar.
Baca juga: Menag: guru besar harus kritis terhadap isu-isu terkini
Bukan soal jarak, namun infrastruktur yang harus dilalui pun perlu perjuangan yang amat keras, apalagi ketika musim hujan, tanah sangat licin, dan sulit untuk dilalui kendaraan.
Hal lain yang menjadi tantangan Supena yakni meyakinkan masyarakat di sana bahwa pendidikan bagi anak-anaknya itu sangat penting. Menurut dia, masyarakat lebih menyuruh anak-anak bekerja dibanding sekolah.
"Tidak ada guru di sana. Orang-orang disitu lebih kebanyakan mencari kerja. Kerja dapet uang dari pada jadi belajar atau jadi guru," kata dia.
Terakhir, Untung, guru Madrasah Al Miftah di Sumenep, Madura, Jawa Timur yang merupakan penyandang disabilitas tuna daksa.
Meski tidak memiliki kedua tangan, ia tetap mampu memberikan inspirasi bahwa keterbatasan bukan menjadi penghalang dalam mendidik generasi penerus bangsa.
Baca juga: Menag: rumah ibadah jangan digunakan menyebar hoaks
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018