Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan alasan melakukan moratorium atau tidak menerima pendaftaran fintech pinjaman daring (peer to peer lending) baru selama lebih dari setahun terakhir.

"Selain untuk memastikan status izin dari platform peer to peer lending, moratorium ini kami gunakan untuk melihat dan menelaah kembali, melakukan scrutinize pada platform-platform yang belum comply pada regulasi, maupun tidak memliki kapasitas SDM dan operasional yang memadai untuk menjalankan bisnis," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi dalam sebuah seminar daring di Jakarta, Rabu.

Pada Februari 2020 saat dimulainya moratorium pendaftaran fintech Peer to Peer (P2P) lending, terdapat 165 perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK, namun sekarang tinggal 125 perusahaan dengan rincian 60 fintech P2P lending yang statusnya terdaftar, serta 65 yang telah memiliki status berizin.

"Saat ini kami sedang menyelesaikan status 60 perusahaan yang terdaftar tersebut menjadi berizin," ujar Riswinandi .

Ia mengatakan fintech P2P lending memiliki banyak sekali manfaat untuk membantu memberikan akses keuangan kepada mereka yang unbankable". Apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini, masyarakat terutama UMKM tentu memerlukan akses kepada pendanaan meskipun dalam kondisi belum atau tidak adanya kolateral yang memadai.

Kepercayaan masyarakat untuk menggunakan P2P lending juga terlihat dari sisi perkembangan P2P yang memperlihatkan tren yang yang positif. Meskipun pada saat awal pandemi, minat publik dalam menggunakan jasa P2P tersebut cenderung turun.

Data per Mei 2021 total outstanding penyaluran pembiayaan adalah sebesar Rp21,75 triliun, meningkat sebesar 69,6 persen (yoy). Akumulasi penyaluran juga telah mencapai Rp207,07 triliun dengan kualitas yang terjaga dimana tingkat keberhasilan 90 hari berada pada angka sebesar 98,46 persen. Hal itu mengindikasikan tingkat pembiayaan yang bermasalah relatif masih rendah.

Tentu dibalik semua kemudahan tersebut, lanjut Riswinandi, banyak hal yang harus menjadi perhatian bagi masyarakat, terutama terkait pemahaman mengenai platform yang terdaftar dan berizin di OJK.

Dengan segala kemudahan meminjam dana secara daring, masyarakat tentunya harus berhati-hati jika tidak ingin terjebak fintech ilegal yang merugikan masyarakat sendiri. Status ilegal tersebut untuk membedakan operasionalnya dengan platform yang sudah terdaftar dan berizin di OJK.

"Di lapangan kami melihat bahwa kondisi masyarakat ada yang memang sedang membutuhkan dana dan juga melihat peluang kemudahan yang ditawarkan oleh platform ilegal. Tanpa disadari secara sistem, platform ilegal ini dapat mengambil data-data pribadi seperti nomer telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen," ujar Riswinandi.

Akses pada hal-hal yang sebetulnya dilarang tersebut akhirnya menjadi ramai di publik, terutama pada proses penagihan. Hal itu tentu saja sangat berbeda dengan fintech legal yang hanya bisa melakukan akses terhadap tiga hal saja yakni kamera, mikrofon, dan lokasi.

OJK juga secara periodik menampilkan daftar fintech P2P lending apa saja yang yang terdaftar dan berizin di OJK melalui website resmi OJK. Selain itu, kanal media sosial OJK juga digunakan untuk diseminasi informasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu masyarakat yang hendak menggunakan jasa P2P, agar terlebih dahulu melakukan pengecekan ke website OJK.

Baca juga: OJK dan Polri diminta berantas pinjol ilegal terkait jual beli selfie KTP

Baca juga: Tips jika dapat transfer dadakan dari pinjol ilegal

Baca juga: Polri tangkap lima pelaku pinjol jaringan Tiongkok

Pewarta: Citro Atmoko

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021