Bandung (ANTARA) - Sekitar 8.500 hektare lahan kritis yang tersebar di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Majalengka, Jawa Barat akan direhabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan setelah BPDASHL Cimanuk-Citanduy dan Perum Perhutani Divre Jawa Barat-Banten membuat kontrak kerja sama di Kantor Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kadipaten, Kabupaten Majalengka.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat melalui Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Rabu, mengapresiasi kerja sama untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut.
Menurutnya, program rehabilitasi adalah salah satu bentuk kolaborasi untuk mewujudkan Jabar Juara Lahir dan Batin.
"Ini menjadi bukti adanya kolaborasi untuk menangani lahan kritis antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kementerian, pemerintah daerah, masyarakat, termasuk yang membanggakan adalah adanya keterlibatan dari pondok pesantren," kata Uu.
Dia mengatakam pola rehabilitasi sendiri rencananya akan menggunakan teknik agroforestri dan nantinya, setiap hektare akan ditanam 400 pohon berjenis kayu-kayuan seperti pohon pinus, mahoni, buah-buahan, dan pohon sejenis.
Menurut Uu Ruzhanul, rehabilitasi lahan kritis perlu ditangani dengan serius dan dilakukan oleh ahlinya.
Maka itu, dia mendukung penuh kehadiran Sekolah Menangah Kejuruan (SMK) vokasi di bidang pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, dan Sumber Daya Air (SDA).
Apalagi, kata Uu Ruzhanul, lahan kritis di Jawa Barat terus meluas setiap tahun. Padahal, program dan anggaran untuk menanggulangi lahan kritis telah dicanangkan.
Dia menilai, lahan kritis hadir akibat ulah manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan.
"Artinya, sekalipun populasi manusia bertambah, pembangunan terus bergerak karena memang dibutuhkan, tetapi kalau tangan manusia tidak merusak. Jika menjaganya dengan program, Insya Allah bencana lahan kritis dan banjir tidak akan terjadi," katanya.
"Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendorong suksesnya program penanaman kembali lahan kritis. Kita ingat sebuah pepatah orang tua, yaitu lebih baik mewariskan mata air kepada anak cucu kita daripada mewariskan air mata," kata Uu Ruzhanul.
Sementara itu, Direktur Jenderal PDASHL Kementerian LHK RI, Ida Bagus Putera Parthama, mengungkapkan bahwa lahan kritis di Indonesia mencapai 14,3 juta hektar.
Menurutnya, porsi cukup besar berada di Jawa Barat, khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk-Citanduy.
"Dan dampak lahan kritis ini menimbulkan berbagai bencana dengan kerugian materil dan nonmateril," katanya.
Putera menjelaskan, apabila lahan kritis berada di DAS, maka daerah tersebut bisa dikatakan tidak sehat.
DAS tidak sehat, lanjut dia, akan menyebabkan debit air sungai utama sangat tinggi manakala hujan turun, tetapi debit air akan sangat rendah ketika musim kemarau tiba.
"Jadi, ketika musim hujan dia kelebihan air tidak bisa menampung, sehingga terjadi banjir. Di musim kering karena waktu musim hujan tidak bisa menampung mata air juga tidak keluar air, sehingga kekeringan," katanya.
Selain itu, DAS yang tidak sehat akan menggerus kualitas tanah dan menyebabkan hadirnya bencana alam seperti tanah longsor.
"DAS yang tidak sehat menjauhkan rayat dari kesejahteraan," katanya.
Dalam penilaian Putera, inti problem lahan kritis berada pada tata ruang dan seharusnya pembangunan disesuaikan dengan kondisi DAS yang ada, sehingga tidak mengubah lansekap atau bentang alam.
Oleh karena itu, Kementerian LHK pun menjalin kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN RI guna membangun kesepahaman sehingga daerah yang ingin melakukan revisi tentang tata ruang mesti mempertimbangkan atau memperhatikan area DAS.