Kepulauan Mentawai (ANTARA) - Lefrizal namanya, namun murid-muridnya biasa menyapa dengan panggilan Pak Alex. Guru kelahiran 30 tahun lalu asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat itu, kini menjadi salah satu tenaga pengajar sekaligus pembina di Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Darul Ulum, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hampir satu tahun sudah Alex menjadi guru di satu-satunya sekolah atas berbasis keislaman di Pulau Pagai Utara dan Selatan itu.
Pria lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Padang itu sudah sejak lulus kuliah mengabdikan diri di pedalaman Nusantara. Beradaptasi dengan minimnya penggunaan teknologi, hidup jauh dari kemewahan, menghindar dari riuh perkotaan, hingga tinggal di desa yang berada pedalaman hutan dengan akses yang sulit.
Pada Ahad (24/3) lalu, kami, tim Global Zakat-ACT, berkesempatan berbincang dengan Alex. Ahad siang itu, Alex menuturkan pengalamannya mengajar beberapa tempat di pedalaman Indonesia. “Pertama kali saya mengajar di pedalaman melalui program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Maluku Barat Daya,” kenang Alex.
Tak ada gaji hingga jutaan rupiah yang Alex dapatkan. Namun, ia tak pernah mempermasalahkan. Alex mengaku bisa berinteraksi dengan warga di berbagai tempat dan menikmati ketenangan di pedalaman sudah sangat senang.
Setelah dari Maluku, Alex pindah mengajar di wilayah Kecamatan Pagai Utara yang juga satu pulau dengan Sikakap, tempat MAS Darul Ulum berada. Akan tetapi, Alex yang baru saja diterima mengajar di sekolah kejuruan negeri di Sikakap ini menjelaskan, lokasi sekolah di Kecamatan Pagai Utara lebih pedalaman. “Dari sini (MAS Darul Ulum) perlu perjalanan dua jam, di sana tak ada listrik sama sekali, apalagi sinyal untuk komunikasi,” tutur guru yang turut mendapat paket pangan dari Global Zakat-ACT ini.
Sama dengan Alex, salah seorang guru sekaligus pembina MAS Darul Ulum lain juga berasal dari luar Mentawai. Agus Nadi (30), laki-laki asli Madura, Jawa Timur ini memboyong istri serta ketiga anaknya ke kompleks MAS Darul Ulum. Mereka mengabdikan diri untuk pendidikan anak Mentawai.
Sejak awal tahun 2016, Agus dan keluarganya menetap di Sikakap setelah mendapatkan amanah dari salah satu lembaga dakwah di Bekasi untuk menjadi guru sekaligus juru dakwah di Sikakap dan sekitarnya. Di tahun itu, MAS Darul Ulum belum resmi berdiri, baru hanya berupa bangunan dua lokal dari Aksi Cepat Tanggap.
“Saya datang ke sini (kompleks MAS Darul Ulum) masih ribun hutan, belum ada listrik, juga sinyal untuk komunikasi, bahkan sampai sekarang harus ke kantor kecamatan atau beberapa titik jaringan untuk mengirim atau mendapat kabar dari keluarga, sedangakan listrik belum genap satu tahun mengalir ke sini” tutur Agus.
Baru ketika masuk akhir tahun 2016, MAS Darul Ulum resmi berdiri sebagai pendidikan formal berbasis keislaman. Sebelumnya, Darul Ulum merupakan panti asuhan untuk anak-anak dari dusun muslim yang ada di Pedalaman Kepulauan Mentawai. Darul Ulum menjadi tempat tinggal mereka selama mengenyam pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah yang hanya ada di Kecamatan Sikakap.
Agus menuturkan, gaji sebagai guru di sekolah tepian negeri tak sebanyak di perkotaan, bahkan terkadang sering mengalami keterlambatan hingga penundaan hingga berbulan-bulan. Per jamnya, guru MAS Darul Ulum digaji sebesar 15 ribu rupiah. Dalam satu pekannya setiap guru mengajar lebih kurang 10 jam. “Gaji sebulan guru di sini sekitar 600 ribu, tapi dalam dua bulan ini belum mendapatkan gaji karena keadaan ekonomi sekolah yang sedang kurang baik,” ungkapnya.
Selama ini, MAS Darul Ulum mengandalkan donasi untuk kegiatan operasionalnya. Sedangkan murid binaannya mendapatkan pendidikan agama serta fasilitas pendidikan hingga konsumsi tiga kali dalam sehari. Tak ada biaya yang dipaksakan kepada murid karena mereka juga berasal dari keluarga prasejahtera di pedalama Mentawai.
Walau gaji tak menentu, Alex, Agus, dan guru lain yang mengabdikan diri untuk pendidikan pelosok negeri tetap menjaga semangat. Di MAS Darul Ulum, setiap ada keterlambatan gaji, pihak sekolah langsung mendiskusikannya bersama semua guru. Mereka diberikan pengertian atas kondisi sekolah. “Semua guru di sini mengerti, dengan gaji yang tak menentu, tapi mereka tetap semangat memperjuangkan pendidikan untuk anak Mentawai, terlebih pendidikan berbasis keislaman,” jelas Agus.
Tanggapan keluarga
Baik Alex maupun Agus terlahir dan bersekolah di perkotaan. Mereka dibesarkan di tengah kemajuan pesat teknologi juga komunikasi. Orang tua mereka sama sekali tak pernah membayangkan anaknya akan mengabdikan diri untuk pendidikan di tepian negeri. Berat hati dari keluarga juga menjadi pengiring pertama kali Alex dan Agus memutuskan pindah ke Sikakap yang ada di paling ujung utara Kepulauan Mentawai.
Agus menceritakan bagaimana respons keluarga, bahkan istri dan anak-anaknya saat memutuskan tinggal di Sikakap. Mereka (keluarga Agus) menanyakan alasan harus berdakwah di pedalaman Sumatra Barat itu. “Keluarga waktu itu juga heran kenapa dakwah saja harus jauh-jauh, sedangkan bisa dimulai dari kampung sendiri. Istri dan anak saya juga sedikit keberatan awalnya untuk saya ajak ke sini. Tapi dengan memberikan pengertian, pada akhirnya mereka mengerti. Bahkan, mereka sudah pernah berkunjung ke sini, dan merasa betah” cerita Agus.
Pun dengan Alex, setelah pulang dari Maluku barat Daya, ia langsung melanjutkan menjadi pengabdi pendidikan di pedalaman Pagai Utara. Rasa berat menjadi yang paling dirasakan sang ibu. “Ibu saya tidak setuju kalau saya harus pergi jauh lagi dari kampung halaman, tapi ayah saya memberikan semangat juga pengertian kepada ibu saya untuk melepaskan anaknya agar dapat melihat kehidupan di pelosok Nusantara,” kenang Alex.
Walau rasa berat mengiringi kepergian mereka ke pedalaman untuk mengabdi di bidang pendidikan, semangat mereka tak surut. Berbagai suka maupun duka juga mereka rasakan.
Keterbatasan komunikasi menjadi hal paling menjadi kendala selama Alex dan Agus mengabdi di tepian negeri. Sering kali mereka telat mendapatkan kabar dari keluarga di luar Mentawai. “Seperti beberapa hari lalu kerabat saya di Padang meninggal dunia, saya baru tahu kabar beberapa hari kemudian saat di kantor kecamatan untuk mendapatkan jaringan internet, untuk langsung pulang ke Padang juga enggak bisa langsung karena kapal di sini (Sikakap) hanya ada tiga kali dalam sepekan,” ungkap Alex.
Di tengah keterbatasan itu, guru di MAS Darul Ulum menikmati semua yang ada di sana. Kenakalan khas bocah serta kegiatan pembelajaran agama yang hampir terjadi selama 24 jam menjadi penyemangat. Terlebih mengingat mereka mengabdi untuk anak-anak muslim dari keluarga prasejahtera yang hidup di pedalaman Mentawai.