Bandung (ANTARA) - Salah satu Tim Ahli Rancangan Undang-undang, Rekson Silaban menyebut revisi Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sangat mendesak agar bisa mengakomodasi perkembangan zaman.
Tim Ahli Rancangan Undang-undang, dalam Uji Sahih di Gedung Sate Bandung, mengatakan ada sejumlah persoalan yang mendesak agar UU tersebut direvisi, seperti terkait keberadaan pekerja informal di Indonesia yang cenderung lebih banyak, ditambah kini ada pekerja platfrom digital.
"Sekarang kan juga muncul pekerja di platform digital. Seperti driver ojol. Itu kan fenomena baru juga yang belum sepenuhnya tercover jaminan sosial," kata Rikson, Rabu.
Pengemudi ojek online itu, ujarnya, belum sepenuhnya tercover dalam jaminan kesehatan dengan faktor beragam, mulai dari penghitungan kinerja dan status dengan aplikator yang rumit.
"Termasuk kriteria dalam BPJS yang hanya dua jenis yakni penerima upah (PU) dan bukan penerima upah (BPU)," katanya.
Kemudian, masyarakat pada sektor informal, seperti yang bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang asongan, juga belum banyak tercover dalam jaminan kesehatan dan menjadi masalah selama ini.
Rekson mengungkapkan dari data yang diterimanya, masyarakat yang tercover dalam berbagai program jaminan sosial juga belum optimal. Misalnya dalam Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang baru mengcover 45,2 juta orang, padahal jumlah penduduk Indonesia lebih dari 280 juta.
Di program jaminan lain juga demikian, semisal Jaminan Hari Tua (JHT) yang hanya mengcover 19 juta, lalu Jaminan Pensiun hanya mengcover 14,9 juta, dan Jaminan Kehilangan Pekerja yang hanya mengcover 14,4 juta orang.
Di lokasi yang sama, Ketua Komite III DPD RI Filep Wamafma menuturkan revisi UU No 40 memang inisiatif dari DPD RI yang salah satu semangatnya adalah upaya mengcover para pekerja di sektor informal.