Jakarta (ANTARA) - Kepala Strategi Makro Asia Pasifik Bank of New York (BNY) Aninda Mitra menilai pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat terjadi pada Selasa (18/3) tidak akan merambat jauh ke pasar valuta asing (valas) serta obligasi, mengingat pasokan dolar AS yang melimpah serta kepemilikan asing atas surat utang pemerintah masih rendah.
“Saya tidak akan mengesampingkan tekanan yang moderat, tetapi masih diragukan apakah ini pasti akan menyebar lebih luas ke valuta asing dan obligasi,” ungkap Aninda di Jakarta, Rabu.
Aninda menjelaskan, kerentanan Indonesia yang lebih luas terhadap pembalikan cepat modal asing tampak lebih rendah daripada sebelumnya.
Pertumbuhan yang melambat ditambah dengan peraturan yang lebih ketat tentang devisa hasil ekspor akan memastikan likuiditas dolar yang cukup di dalam negeri sehingga rupiah bisa lebih stabil.
Kepemilikan asing atas obligasi rupiah tetap rendah, sekitar 15 persen dari total keseluruhan.
“Angka tersebut jauh di bawah puncak prapandemi yang mencapai hampir 40 persen. Sebagian besar kepemilikan ini mungkin juga dilindungi nilai valuta asing,” terangnya.
Adapun pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa kemarin (18/3), IHSG tercatat sempat ditutup melemah 395,87 poin atau 6,12 persen ke posisi 6.076,08.
Sementara itu, indeks LQ45 tercatat turun 38,27 poin atau 5,25 persen ke posisi 691,08.
Imbas dari pelemahan tersebut, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS).
Pembekuan perdagangan dipicu oleh penurunan IHSG yang mencapai lebih dari 5 persen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Analis Bank of New York nilai tekanan di IHSG tak akan merambat jauh