Karawang (ANTARA) - Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karawang, Jabar, menyampaikan agar seluruh pengelola pondok pesantren fokus menjaga marwah pesantren menyusul ditetapkannya salah satu pimpinan pesantren di wilayah Karawang sebagai tersangka kasus pencabulan.
"Sebenarnya saya menyerahkan penanganan kasus itu ke penegak hukum. Tapi pesan saya untuk pengelola pesantren di Karawang harap menjaga marwah," kata Kepala Kantor Kementerian Agama Karawang, Sopian, di Karawang, Kamis.
Ia mengatakan bahwa sebenarnya pondok pesantren yang dikelola oleh pria berinisial KA itu terdaftar di Kemenag Karawang. Namun tidak pernah update. Padahal dalam ketentuannya setiap pesantren itu harus menyampaikan laporan kegiatan dan perkembangan pesantrennya.
"Iya seharusnya memang ada pelaporan. Baik itu pelaporan per triwulan atau per semester," katanya.
Saat pendaftaran, kata dia, tim verifikator dari Kemenag Karawang memang melakukan verifikasi. Hasilnya memang didapati kalau pesantren itu benar pesantren, karena ada pengajiannya, ada santrinya serta sarana dan prasarananya.
Terkait dengan tidak update-nya pesantren dalam menyampaikan laporan ke Kemenag Karawang, kata Sopian, itu sedang ditindaklanjuti oleh tim verifikator.
"Kami dari Kemenag Karawang hanya berwenang melakukan verifikasi dan rekomendasi. Kalau untuk sanksi pencabutan izin atau lainnya, itu wewenang pusat," kata dia.
Sementara itu, pada Senin (9/9) Polres Kabupaten Karawang menetapkan pimpinan pesantren di wilayah Karawang sebagai tersangka dalam kasus pencabulan terhadap enam santriwatinya yang masih di bawah umur.
"Tersangka ini berinisial KA (31) yang merupakan pimpinan pesantren di Karawang," kata Kapolres Karawang AKBP Edwar Zulkarnaen.
Dikatakan bahwa penetapan tersangka itu atas pelaporan yang diterima pihak kepolisian.
Kapolres menyebutkan enam santri perempuan menjadi korban dari pelaku. Pelaku ini adalah seorang pengajar sekaligus pemilik salah satu pondok pesantren di Karawang.
Tersangka berinisial KA melakukan aksinya sejak 2023 hingga Maret 2024 dengan modus memberikan hukuman kepada santri perempuan yang melanggar peraturan pondok pesantren.