Balikpapan (ANTARA) - Ketua Gerakan Putera Asli Kalimantan (Gepak Kuning) Suriansyah menegaskan bahwa yang menyebutkan banjir di Sepaku, Penajam Paser Utara, sebagai dampak dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah yang tidak paham geografis atau kondisi alam Kalimantan.
“Mereka cari panggung, yang ujung-ujungnya cari perhatian untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya,” kata Prof, panggilan akrab Suriansyah, di Balikpapan, Minggu.
Permukiman di Kalimantan umumnya dibangun di sepanjang daerah aliran sungai atau di lahan basah, di kawasan rawa-rawa, atau dekat rawa-rawa. Ini berlaku mulai dari pemukiman Orang Banjar yang banyak di pesisir atau muara sungai, hingga kampung-kampung Orang Dayak di bagian hulu sungai.
Hal tersebut utamanya untuk memudahkan akses. Karena, dulu sungai, danau, dan rawa merupakan sarana transportasi. Orang bepergian dengan perahu.
Dengan pemahaman orang dulu akan alam dan lingkungan, termasuk sosial budayanya, mereka kemudian membangun rumah panggung, bukan rumah di atas tanah begitu saja. Ketinggian lantai rumah dari permukaan tanah bisa 4 hingga 8 meter, sebagai antisipasi mulai dari banjir, binatang buas, hingga serangan musuh.
Menurut Suriansyah, para pengeritik tersebut tidak memahami atau pura-pura tidak paham keadaan geografis tersebut dan kearifan lokal, sosial, dan budaya masyarakat asli Kalimantan dalam menghadapi banjir.
Secara khusus tentang banjir di Sepaku, dirinya sebagai orang awam paham ada Daerah Aliran Sungai (DAS) Tengin di Sepaku, Penajam Paser Utara, ada juga Sungai Telake.
Saat terjadi curah hujan tinggi, kemudian laut sedang pasang maka air sungai yang menuju pun tertahan sementara. Air yang tertahan sementara ini, menurut Suriansyah, yang dipahami dari zaman dulu sebagai banjir.