Mahfud menyebut dalam keadaan tersebut negara bisa menjadi 'chaos' di mana masa jabatan habis dan presiden baru belum diangkat, karena oleh konstitusi tidak bisa diangkat.
Aturan pengangkatan presiden saat ini berbeda dengan di zaman Orde Baru yang bisa diangkat oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sekarang MPR hanya join session antara DPR dan DPD, sehingga tidak bisa secara sepihak mengubah aturan.
Jika dahulu, aturan membolehkan presiden diganti oleh wakil presiden bila berhalangan tetap. Dengan lima alasan berhalangan tetap, yaitu korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana besar dan melanggar etika.
“Etika ini harus diatur dengan undang-undang dulu. Tanpa ini presiden tidak bisa diberhentikan. Kalau ada ini, diberhentikannya juga lewat DPR,” terangnya.
Pemberhentian lewat sidang DPR ini juga tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang lama. Di mana akhir dari putusan DPR itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi, dan disidang juga memerlukan waktu lama. Namun, belum tentu putusannya sesuai diharapkan, bisa jadi dikembalikan ke DPR, dan sidangpun batal dihentikan.
Dengan begitu, lanjut dia, presiden bisa saja membeli 2/3 suara partai politik. Cari kesalahannya, dalam politik hal itu bisa terjadi.
Mahfud menegaskan memberhentikan presiden sekarang tidak seperti di era Orde Baru, dengan mendesak MPR untuk memberhentikan presiden. Tetapi diatur dalam konstitusi.
Presiden juga tidak bisa digantikan oleh para menteri, karena masa jabatan menteri berakhir dengan masa jabatan presiden.
“Oleh sebab itu, saya katakan jangan main-main dengan jadwal pemilu. Jangan main-main, itu mengundang chaos. Kalau saudara ingin memaksa pemilu itu ditunda,” katanya.