Jakarta (ANTARA) - Minggu, 28 Oktober 1928, malam, suasana Kongres Pemuda II di Gedung Indonesische Clubgebouw (kini Museum Sumpah Pemuda), Jakarta, hening seiring seorang pemuda berkacamata bersiap dengan biolanya.
Begitu dawai digesek, mengalunlah sebuah kidung yang nada-nadanya memantul di seluruh penjuru ruangan. Kaum muda bumiputra yang hadir semakin hanyut dalam gelora nasionalisme.
Sang pemain biola sekaligus komponis lagu itu bernama Wage Rudolf Supratman. Dia memberikan judul "Indonesia" untuk karyanya tersebut.
Wage tampil percaya diri di tengah-tengah peserta kongres yang melahirkan sebuah deklarasi nasional, "Sumpah Pemuda".
Pria asal Jawa Tengah itu tidak gentar memamerkan ciptaannya lantaran sudah terbiasa dengan atmosfer pergerakan nasional dan tokoh-tokohnya yang hadir di kongres tersebut.
Maklum, Wage Rudolf Supratman berprofesi sebagai pewarta yang rutin mengikuti aktivitas pejuang-pejuang Indonesia.
Bambang Sularto dalam bukunya "Wage Rudolf Supratman" (1985), menyebut, awalnya, Wage bekerja di koran Koem Moeda, surat kabar yang dekat dengan Sarekat Islam dan berbasis di Bandung, sekitar tahun 1925.Dia pun kerap mengikuti diskusi kelompok studi intelektual Indonesia, Algemeene Studieclub, yang salah satunya didirikan oleh Ir. Sukarno.
Tidak lama di Bandung, Wage pindah ke Jakarta untuk berkiprah sebagai editor sekaligus pewarta Kantor Berita Algemeen Pers-en Nieuws Agenschap (Alpena) yang dibangun Parada Harahap.
Karena Alpena mengalami kesulitan keuangan, Wage pindah ke Sin Po yang mulai tahun 1925 dipimpin Kwee Kek Beng. Oleh atasannya, Wage diperintahkan untuk meliput pertemuan-pertemuan tokoh pergerakan nasional di Gang Kenari, Jakarta. Instruksi inilah yang membuatnya dapat meliput Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928).
Wage belajar bermain biola dari suami kakak tertuanya Rukiyem Supratiyah, bernama W. M. van Eldik, seorang serdadu Belanda. Van Eldik-lah yang menambahkan 'Rudolf' di antara nama Wage Supratman untuk mempermudah adik iparnya masuk ke sekolah dasar Hindia Belanda, Europeesche Lagere School (ELS), di Makassar.
Di rumah Rukiyem, Wage giat belajar biola sampai akhirnya bergabung dengan kelompok musik jazz 'Black White Jazz Band' yang didirikan van Eldik sekitar tahun 1920. Tahun 1923, Wage mulai belajar membuat komposisi musik sendiri.
Semangat pemuda dalam mempersiapkan Kongres Pemuda I bahkan menginspirasi Wage membuat lagu mars berjudul 'Dari Barat sampai ke Timur'.
Setelah kongres pemuda tersebut dilaksanakan, sekitar bulan Mei 1926, Wage mendapatkan ilham untuk membuat sebuah lagu kebangsaan. Lagu itu disusunnya dengan not balok dan angka. Ketika selesai, dia beri judul sementara: Indonesia.Sebelum membawanya ke tengah-tengah kongres pemuda kedua, Wage terlebih dahulu memperdengarkan lagunya kepada beberapa pemimpin kelompok kepanduan seperti dari Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan Persaudaraan Antara Pandu-pandu Indonesia (PAPI) untuk mendapatkan tanggapan. Ternyata mereka menyukai lagu tersebut.
Dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928, Wage yang telah memperoleh izin menggaungkan lagunya di tengah-tengah peserta persis sebelum agenda pembacaan keputusan kongres yang dikenal sebagai 'Sumpah Pemuda'.
Rentetan nada dilantunkan tanpa lirik supaya kongres tidak dibubarkan oleh polisi kolonial. Lagu itu tetap diberi judul 'Indonesia' dan mendapatkan sambutan hangat dari para pemuda.
Kwee Kek Beng
Kwee Kek Beng menjadi sosok penting di balik eratnya hubungan Wage Rudolf Supratman dengan para intelektual Indonesia.
Kwee Kek Beng, seorang peranakan Tionghoa, lahir di Batavia (Jakarta), 16 November 1900. Kwee awalnya berprofesi sebagai guru di Hollandsch Chineesche School (HCS) wilayah Bogor.
Dari buku otobiografinya, ‘Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan 1922-1947’ yang terbit 1948, Kwee Kek Beng mengatakan bahwa dirinya terjun ke dunia jurnalistik secara penuh tepatnya mulai 1 November 1922. Awalnya, dia ditempatkan di koran ‘versi murah’ dari Sin Po, yakni Bin Seng.
Setelah Bin Seng tutup setahun kemudian, Kwee aktif di Sin Po. Dia diangkat sebagai pemimpin redaksi Sin Po setelah sang direktur Tjoe Bou San wafat pada 3 November 1925.Kwee dikenal sangat menolak penjajahan dan karena itu dia dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Ir Sukarno, yang kemudian menjabat Presiden pertama Republik Indonesia, bahkan pernah berkunjung ke rumahnya secara pribadi untuk membicarakan soal penerbitan majalah dan memperkuat hubungan Indonesia dengan Tiongkok.
Nama Kwee Kek Beng juga disebut Sukarno dalam tulisannya “Mencapai Indonesia Merdeka” yang dimuat dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi". Kwee Kek Beng, bersama Dr. Kwa Tjoan Siu diikutkan Bung Karno dalam sidang pembantu majalah Suluh Indonesia Muda.
Di masa kepemimpinan Kwee, Sin Po yang konsisten menggunakan kata ‘Indonesia’ mulai tahun 1920-an memiliki dua pewarta pribumi yaitu Wage Rudolf Supratman dan D. Koesoemaningrat (Leo Suryadinata dalam "Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia, dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien", 2010).
Ada satu hal yang tak bisa dilupakan Kwee dari seorang Wage. Kwee berkisah, Wage sangat gembira lagu ciptaannya diterima sebagai lagu kebangsaan Indonesia di Kongres Pemuda II.
"Saya masih ingat bagaimana dia (Wage Supratman) lari terbirit-birit ke loteng Gedung Sin Po dan dengan gembira memberi tahu saya bahwa lagu Indonesia Raya-nya diterima dengan baik dan selanjutnya akan menjadi lagu kebangsaan," kata Kwee.Kwee dengan berani mempublikasikan "Indonesia Raya" di edisi mingguan Sin Po yang terbit pada 10 November 1928, lengkap dengan lirik dan notasinya. Di mingguan itu, "Indonesia Raya" masih berjudul "Indonesia".
Mulai dari sana, lagu Wage tersebut semakin sering terdengar di balik dinding-dinding pertemuan pemuda. Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) akan mengadakan kongres kedua, 18-20 Mei 1929, panitia menyiapkan sesi menyanyikan lagu 'Indonesia' saat pembukaan. Wage pun memberikan teks lagunya, tetapi dengan judul yang diubah menjadi 'Indonesia Raya'.
PNI, yang dipimpin Sukarno, lalu menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Indonesia Raya juga dinyanyikan pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, setelah Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih berkibar di pelataran kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wage Rudolf, Kwee Kek Beng dan kisah "Indonesia Raya" di loteng Sin Po