Sebelum membawanya ke tengah-tengah kongres pemuda kedua, Wage terlebih dahulu memperdengarkan lagunya kepada beberapa pemimpin kelompok kepanduan seperti dari Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan Persaudaraan Antara Pandu-pandu Indonesia (PAPI) untuk mendapatkan tanggapan. Ternyata mereka menyukai lagu tersebut.
Dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928, Wage yang telah memperoleh izin menggaungkan lagunya di tengah-tengah peserta persis sebelum agenda pembacaan keputusan kongres yang dikenal sebagai 'Sumpah Pemuda'.
Rentetan nada dilantunkan tanpa lirik supaya kongres tidak dibubarkan oleh polisi kolonial. Lagu itu tetap diberi judul 'Indonesia' dan mendapatkan sambutan hangat dari para pemuda.
Kwee Kek Beng
Kwee Kek Beng menjadi sosok penting di balik eratnya hubungan Wage Rudolf Supratman dengan para intelektual Indonesia.
Kwee Kek Beng, seorang peranakan Tionghoa, lahir di Batavia (Jakarta), 16 November 1900. Kwee awalnya berprofesi sebagai guru di Hollandsch Chineesche School (HCS) wilayah Bogor.
Dari buku otobiografinya, ‘Doea Poeloe Lima Taon Sebagi Wartawan 1922-1947’ yang terbit 1948, Kwee Kek Beng mengatakan bahwa dirinya terjun ke dunia jurnalistik secara penuh tepatnya mulai 1 November 1922. Awalnya, dia ditempatkan di koran ‘versi murah’ dari Sin Po, yakni Bin Seng.
Setelah Bin Seng tutup setahun kemudian, Kwee aktif di Sin Po. Dia diangkat sebagai pemimpin redaksi Sin Po setelah sang direktur Tjoe Bou San wafat pada 3 November 1925.
Spektrum - Wage Rudolf Supratman, Kwee Kek Beng dan kisah "Indonesia Raya" di loteng Sin Po
Oleh Michael Siahaan Jumat, 28 Oktober 2022 19:38 WIB