Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan semua pihak dalam masyarakat bahwa bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya selalu berupa pemerkosaan tetapi bisa berupa paksaan ataupun bujukan.
“Jadi bentuk kekerasan seksual kepada anak, tidak selalu berupa pemerkosaan, tidak selalu berbentuk incest dan sodomi. Dia biasanya bisa berupa bujukan atau paksaan untuk terlibat aktivitas seksual,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI Eva Devita Harmoniati dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Eva menuturkan seringkali bentuk kekerasan seksual pada anak dipahami sebagai terjadinya pemerkosaan, incest ataupun sodomi. Namun, dengan seorang anak terbujuk untuk melihat dan terstimulasi ikut dalam kegiatan seksual seperti melalui perabaan, hal tersebut sudah termasuk dalam kekerasan seksual.
Orang tua harus dapat memahami, kejahatan seksual pada anak lainnya juga dapat berupa eksploitasi seksual komersial melalui video atau film pornografi yang melibatkan anak dalam visual ataupun audionya serta perbudakan seksual, perdagangan anak hingga pernikahan paksa.
Pada masa pandemi COVID-19 yang menuntut setiap anak bersentuhan dengan media online, Eva mengatakan terdapat lima bentuk ekspoitasi seksual secara daring yang sering menimpa anak-anak yakni cyber child sexual abuse, kegiatan ini biasanya membuat gambar atau video kekerasan seksual hingga berfokus pada kelamin anak.
Di mana tiap materi aktivitas seksual yang menggunakan anak dibuat secara digital tanpa adanya bentuk yang nyata.
Kedua adalah sexting yakni pembuatan dan pembagian gambar telanjang atau nyaris telanjang yang menggoda secara seksual melalui telepon genggam ataupun jejaring sosial. Biasanya anak melakukan karena inisiatif sendiri, ancaman dari pelaku atau tekanan teman.
Kejahatan ketiga yang Eva sebutkan adalah Online Grooming for Sexual Purposes di mana pelaku akan menjalin hubungan dengan anak melalui internet sebagai wadah untuk melakukan kontak seksual daring ataupun luring.
Pada mulanya, pelaku akan memberikan perhatian dan hadiah-hadiah pada anak. Dari sana, mereka akan mulai melakukan kekerasan secara psikologis, melakukan manipulasi, mendidik secara seksual dan membuat anak tidak peka.
“Ini sangat mengkhawatirkan karena ternyata para pedofil atau para pelaku kejahatan seksual daring menyasar justru anak-anak yang belum paham tentang media sosial, belum paham batasan-batasan dalam mengunggah foto sehingga rentan sekali menjadi korban,” ujar dia.
Lebih lanjut Eva menerangkan tentang sexual extortion, sebuah pemerasan untuk mendapatkan konten seks berupa foto ataupun video, guna memperoleh uang dari korban ataupun terlibat dalam seks dengan korban melalui paksaan secara daring. Dengan 60 persen pelaku bertemu secara daring melalui sosial media.
“Kemudian ada juga streaming of child sexual abuse. Ini pemaksaan pada anak untuk melakukan atau terlibat aktivitas seksual, baik sendiri atau dengan orang lain. Kemudian disiarkan secara langsung melalui internet dan ditonton oleh orang-orang yang telah memesan, bersama dengan jaringan pelaku kejahatan seksual atau pedofil,” kata dia.*
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan setiap pihak untuk tidak menyepelekan sekecil apapun perubahan perilaku dan sifat pada anak-anak guna mencegah terjadinya kekerasan seksual semakin marak.
“Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami berbagai macam peristiwa traumatik termasuk di antaranya kekerasan fisik, emosional atau seksual, maka dampaknya tidak hanya berhenti pada saat itu, tapi bersifat jangka panjang,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI Eva Devita Harmoniati dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak.
Eva menyayangkan hingga kini, banyak orang tua yang bersifat tidak peka terhadap perubahan perilaku anaknya. Beberapa kali pula ditemukan bahwa orang tua tak mengetahui perbuatan anak saat mengakses atau membuat sebuah video pornografi atau hal berbau sensual lainnya.
Padahal dengan memahami perubahan itu, dapat meminimalisir berulangnya kekerasan ataupun kejahatan seksual pada anak-anak bangsa.
Eva mengatakan perubahan mendasar yang dapat terlihat dari perilaku anak yakni, anak yang semula memiliki sifat semangat dan ceria, cenderung mengunci diri di dalam kamar, menjauhi orang lain dan senang menyendiri.
Anak juga merasakan depresi atau perasaan gelisah sehingga takut untuk bertemu orang lain. Adapun sifat lain yang muncul yakni anak menjadi agresif dan performa di sekolah biasanya akan menurun.
“Muncul keluhan-keluhan yang tidak jelas seperti sakit perut, sakit kepala, menolak berangkat ke sekolah dengan berbagai macam alasan. Anak juga bisa menunjukkan gangguan makan dan tidur. Bisa tidak nafsu makan sama sekali (anoreksia) atau bulimia karena untuk menutupi rasa kecemasan yang ada di dalam hatinya,” ujar dia.
Eva melanjutkan, anak yang terkena kejahatan seksual biasanya sering mengalami mimpi buruk dan keluhan buang air besar maupun kecil. Alat kemaluan juga menjadi gatal atau banyak cairan yang keluar dari vagina. Bahkan terdapat beberapa titik rasa sakit yang dirasakan anak.
“Memang ada faktor protektif, tidak semua anak mengalami kekerasan akan mengalami dampak yang sedemikian hebatnya. Faktor protektif itu berupa dukungan keluarga dan juga dukungan dari teman sebaya, agar si anak bisa pulih dari trauma yang dialami saat itu,” ucap Eva.
Kemudian anak yang mengalami kekerasan di masa kecil, biasanya akan tumbuh dengan mengalami gangguan dalam perkembangan kognitif, sosial dan emosionalnya. Mereka bisa lebih berani melakukan perilaku berisiko seperti merokok menggunakan NAPZA atau terlibat pergaulan bebas.
Khusus pada anak yang mengalami kekerasan seksual, selain rasa takut hormon stres yang meningkat sehingga menimbulkan perilaku berisiko dan perilaku kekerasan atau bunuh diri. Sebab anak akan memiliki rasa bersalah sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya karena memiliki ketakutan.
Dengan demikian, dirinya berharap orang tua dapat memahami pentingnya perubahan perilaku setiap anak sekecil apapun dan berani membangun komunikasi juga kepercayaan agar anak tidak merasa sendirian.
“Itu tentunya akan sangat berat terhadap psikologi seorang anak, juga mekanisme bagaimana bisa mengatasi kecemasan dan trauma di alam ini, dari dirinya sendiri untuk mengatasi kondisi tersebut,” ujar Eva.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: IDAI: Bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya pemerkosaan