“BPJS bisa bangkrut karena membiayai dampak stunting sebagai penyakit tidak menular ini. Kondisi ini akan membuat kemiskinan antar-generasi yang semakin buruk,” ucap dia.
Ia berharap semua pihak dapat menanggapi masalah stunting dengan lebih serius, karena membuat kemampuan kognitif anak berkurang. Perkembangan otak yang terganggu, kemampuan daya saing di era ekonomi modern menurun dan tubuh mengecil.
Stunting juga berkaitan erat dengan berkurangnya produktivitas serta memicu anak rentan terhadap penyakit infeksi. Kesehatan tubuhnya jadi rendah, bahkan dapat terjadi perubahan metabolisme di tingkat sel yang membuat sel-sel itu membuat cepat bengkak dan gemuk. “Ini yang membuat dia menjadi obesitas, diabetes, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, stroke dan lain-lain,” ujar dia.
Status merah
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan terdapat lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Jabar) memiliki angka prevalensi kekerdilan (stunting) di atas 30 persen atau masuk dalam status merah.
“Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru, yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Berdasar Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, ia menyebutkan empat kabupaten/kota dengan angka prevalensi di atas 30 persen itu adalah Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung.
Kemudian, sebanyak 14 kabupaten/kota berstatus kuning atau angka prevalensi berkisar 20-30 persen seperti Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, Majalengka, Pangandaran, Sumedang, Kabupaten Bekasi, Purwakarta serta Karawang.