Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Partai Buruh Anthony Norman Albanese menjadi Perdana Menteri Australia setelah mengalahkan petahana Scott Morrison dalam pemilihan umum, Sabtu (21/5). Albanese, dipanggil Albo oleh para sahabatnya, mengangkat Penny Wong, Menlu bayangan Partai Buruh, sebagai diplomat utama Australia.
Bagaimana politik luar negeri Australia terhadap Indonesia dan Asia Tenggara di bawah duet baru ini?
Secara historis, perdana menteri dari Partai Buruh Australia memiliki reputasi lebih terbuka terhadap keterlibatan dan kerja sama internasional (engagement), khususnya dengan Asia.
Tahun 1971 pimpinan Partai Buruh Gough Whitlam membuka peluang hubungan diplomatik Australia-China dengan kunjungan terobosan ke Beijing. Saat Whitlam menjadi perdana menteri, Australia menjadi Dialog Partner pertama Asean di tahun 1974.
PM Bob Hawke membidani kerja sama APEC (Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik) tahun 1989. Penerusnya, PM Paul Keating meningkatkan kerja sama tersebut menjadi pertemuan kepala negara. Pada KTT APEC 1994, dia bersama pemimpin negara lain menghasilkan Deklarasi Bogor guna memperkuat perdagangan kawasan. Pada masa itu pula hubungan Indonesia-Australia menjadi paling mesra di era Presiden Soeharto. Kedekatan kepada Indonesia dan prioritas perhatian pada Asia diteruskan oleh para perdana menteri lainnya dari Partai Buruh seperti Kevin Rudd.
Namun partai apapun yang berkuasa, landasan politik luar negeri Australia dipastikan tidak meninggalkan dan bahkan tetap mengutamakan persekutuan mereka dengan Amerika Serikat dan Inggris. Hal itu terbukti saat PM Julia Gillard, yang juga dari Partai Buruh, tahun 2011, membuat keputusan yang meresahkan banyak negara tetangga dengan mengizinkan penempatan tentara Amerika Serikat di pangkalan Darwin. Saat itu, Albanese adalah Menteri Infrastruktur dan Transportasi dalam kabinet Gillard.
Setahun terakhir berbagai pernyataan Albanese dan Wong menunjukkan kesadaran pentingnya peran Indonesia sebagai tetangga dan primus Inter pares (yang pertama di antara yang setara) di Asia Tenggara.
Dalam pidatonya di National Press Club di Canberra (18/5/2022), Albanese mengatakan Indonesia akan menjadi superpower, sejajar dengan China dan India sebagai raksasa di Asia.
Selain kerja sama ekonomi, Albanese menggarisbawahi pentingnya memperkuat hubungan people-to-people dan kemitraan dalam keamanan maritim.
Perhatian Albanese kepada Indonesia selama ini cukup konsisten dan bukan sekadar retorika. Saat menjadi menteri di kabinet Rudd, kunjungan resmi pertamanya adalah ke Indonesia. Kemudian kunjungan resmi pertama Albanese sebagai pimpinan Partai Buruh juga ke Jakarta pada Agustus 2019.
Dalam kunjungan terakhir, dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan membahas perlunya penguatan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA), serta simplifikasi proses visa untuk para turis Indonesia dan Australia.
Saat ditanya wartawan soal isu Papua, Albanese mengatakan bahwa hak asasi manusia harus dihormati di Papua. “Kami memahami komitmen bi-partai yang telah lama ada tentang integritas territorial Indonesia, dan itu sudah dimengerti,” tambahnya.
Berbicara di Lowy Institute di Sydney (10/3/2022) Albanese mengatakan Indonesia dan India menjadi prioritas dalam penguatan hubungan bilateral pemerintahnya nanti.
“Kami akan bekerja dengan Jakarta untuk mewujudkan kemitraan lingkungan dan infrastruktur senilai A$200 juta, dan realisasi ekonomi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia yang telah dijanjikan, namun belum terlaksana,” tambahnya.
Selama kampanye pemilu yang baru saja selesai, Albanese juga mengatakan Indonesia akan menjadi negara pertama yang akan dikunjunginya sebagai perdana menteri. Niat itu kini mungkin akan dikalahkan karena Perdana Menteri Australia terjadwal menghadiri Quadrilateral Security Dialog (disingkat Quad) pada Selasa (24/5/2022) di Tokyo yang melibatkan sekutu dekatnya di Asia Pasifik – Amerika, Jepang, dan India.
Bagaimana dengan Menlu baru Australia? Sebagai seorang kelahiran Malaysia yang menetap di Australia saat berusia 8 tahun, Wong harusnya paham Indonesia dan Asia Tenggara.
Sebagai pembicara virtual di Center for Strategic and International Studies (28/3/2022), Wong mengatakan semua negara di Asean penting, namun menggarisbawahi keutamaan Indonesia.
“Jelas banyak negara di Asia Tenggara yang ingin memperdalam hubungannya. Namun untuk para pengambil kebijakan politik luar negeri Australia, Indonesia selalu menjadi sentral,” katanya.
Wong dalam diskusi tersebut juga mengkritisi kebijakan pemerintah Morrison yang tidak kondusif dalam menguatkan hubungan bilateral.
“Sayangnya saat kita memasuki pandemi, pemerintah (Morrison) telah memotong bantuan pembangunan untuk Indonesia dalam dukungan kesehatan. Kami (Partai Buruh) akan meningkatkan bantuan tersebut…walau tak bisa seketika,” janji Wong.
Secara umum Indonesia bisa banyak berharap dari pemerintahan baru Australia. Berbagai pernyataan mendorong optimisme, dan banyak agenda sejalan dengan Presiden Jokowi seperti penguatan kerja sama ekonomi, turisme, dan perubahan iklim.
Namun ada beberapa hal yang patut kita khawatirkan dalam konteks geopolitik.
Retorika yang keras kerap ditampilkan saat berbicara tentang China.
Albanese secara khusus menyoroti perjanjian kemitraan persahabatan China-Rusia yang dideklarasikan Februari lalu. “Banyak alasan yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemitraan tersebut, khusus dalam konteks naiknya ketegasan China di kawasan kita”.
“China di bawah Xi Jinping telah menunjukkan otoriter yang lebih keras dan nasionalisme yang lantang,” kata Albanese saat berbicara di Lowy Institute. “Itulah sebabnya kami memberi dukungan kuat kepada AUKUS (persekutuan Australia, Inggris dan Amerika Serikat), dan memastikan bahwa Quad memberikan hasil di kawasan ini."
Wong menyampaikan narasi yang sama. Beberapa kali dia membahas wilayah Pasifik tidak saja sebagai mitra pembangunan tapi juga sebagai wilayah pengaruh Australia dalam membendung China.
Sangat menarik bahwa dalam perdebatan kampanye antara Wong dan Menteri Luar Negeri petahana Marise Payne, isu Pasifik mendominasi dan sebaliknya Indonesia praktis tidak disinggung.
Baik Albanese maupun Wong juga menegaskan aliansi mereka dengan Amerika Serikat, persekutuan AUKUS, dan komitmen anggaran pertahanan minimum 2 persen dari PDB Australia sebagai bagian dari pilar kebijakan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya dengan penambahan anggaran pertahanan Australia yang naik 7,4 persen untuk 2022-2023, atau sekitar 2,1 persen dari PDB.
Yang perlu dikhawatirkan bagi Indonesia adalah dampak terhadap lingkungan strategis kawasan Asia yang berpotensi terus memanas jika posisi Australia sebagai sekutu terbesar Amerika di kawasan Asia Pasifik terus melengking terhadap China.
Cita-cita Indonesia adalah membentuk sebuah kawasan yang bebas dari pertikaian negara adidaya. Indonesia tidak ingin terjepit lagi seperti era Perang Dingin ketika negara di Asia menjadi pion dalam perseteruan tersebut.
Walaupun memiliki tujuan yang sama, di sini lah perbedaan utama sikap Indonesia dan Australia. Jakarta ingin mewujudkan kawasan damai dan sejahtera melalui multilateralisme tanpa dominasi negara adidaya. Sedangkan Canberra tetap mengedepankan aliansi dan persekutuan Barat mereka.
Tapi pekerjaan rumah terbesar Albanese di awal pemerintahannya adalah bagaimana perdana menteri baru ini akan mentransformasi infrastruktur kebijakan politik luar negeri Australia yang beberapa tahun terakhir didominasi oleh instansi keamanan seperti NSC, dan bukan Kementerian Luar Negerinya.
Indonesia harus jeli melihat bagaimana Wong dapat mengukuhkan posisinya sebagai pengambil kebijakan utama politik luar negeri Australia.
Kisruh dengan Prancis terkait pembatalan pembelian kapal selam dan konsultasi yang minim dengan Indonesia sebelum pembentukan AUKUS adalah miskomunikasi yang tidak boleh terulang lagi.
Terima kasih Pak Scott. Selamat bertugas PM Albanese. Serupa tapi tak sama. Substansi atau gaya dan nuansa? Kami tunggu Anda minggu depan di Jakarta.