Jika gelanggang akbar kemanusiaan seperti paralimpiade yang dibintangi ratusan atlet difabel mudah dipolitisasi, ajang G20 dipastikan menjadi medan perang politik secara terbuka.
Bung Hatta tahun 1948 menggambarkan politik luar negeri Indonesia sebagai yang mendayung di antara dua karang. Presiden Jokowi kini tengah melakukan juggling kepentingan: teguh pada prinsip konstitusional menolak agresi, melintasi crossfire persaingan lingkup pengaruh NATO vs Russia yang menjadi esensi permasalahan di Eropa Timur, menghindari eskalasi perang, serta mengusahakan agar G20 tidak keluar jalur dan lalai terhadap agenda pembangunan dunia – Arsitektur Kesehatan Global, Ekonomi Digital dan Transisi Energi - yang berdampak semesta.
Berlebihan mengharapkan Indonesia mendamaikan krisis Ukraina lewat G20 yang sarat dengan national interest anggotanya. Namun tidaklah muluk bagi Ketua G20 untuk tetap berusaha memfokuskan organisasi ini pada isu-isu global yang berimbas kepada negara berkembang dan kelestarian manusia. Isu-isu yang memang harus dinobatkan oleh negara-negara G20.
Salah satu isu adalah utang negara-negara termiskin. Banyak yang terlindas beban bunga tinggi yang mengakibatkan tersedotnya alokasi anggaran pembangunan sehingga mengikis harapan mengangkat perbaikan ekonomi rakyatnya.
Perlu inisiatif G20 untuk menghasilkan suatu mekanisme penangguhan pembayaran bunga dan restrukturisasi utang yang meringankan negara-negara berpendapatan rendah.
Contoh lain adalah komitmen konkret G20 untuk menerapkan skema carbon pricing sebagai satu solusi terhadap ancaman perubahan iklim.
Perang Ukraina telah membajak headline dunia dan meredam isu global lain yang seharusnya menjadi top of mind G20. Perhatikan bagaimana laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dikeluarkan 28 Februari 2022, hampir luput dari perhatian dunia.
Telaah - Keberpihakan Indonesia dan kemunafikan 'G19'
Minggu, 6 Maret 2022 16:56 WIB