Meski menulis artikel adalah makanan sehari-hari untuknya, menulis buku ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkali-kali dia merasa buntu karena rasa sakit yang muncul saat mengulas pengalaman masa lalu. Ia pun kerap meragukan pikiran sendiri sehingga harus bolak-balik baca referensi dan konsultasi dengan psikolog.
"Lalu di tengah masyarakat yang sekarang mulai familier dan sering memakai istilah 'toksik', tentu ada kritik soal itu: sedikit-sedikit bilang toksik," katanya.
"Dalam menulis ini saya bukannya mau mengglorifikasi atau asal tuding tiap orang tua salah sedikit itu toksik, bukan sama sekali mau mendemonisasi orang tua juga. Bagaimanapun, enggak ada yang 100 persen hitam putih termasuk orang tua."
Ia hanya ingin berbagi sudut pandang lain sebagai seorang anak yang bisa jadi mewakili sebagian anak lainnya yang sering bungkam dan lama membawa-bawa trauma.
Ia berharap buku ini dapat memberi perspektif kepada pembaca yang merasa punya luka di masa lampau yang belum sembuh, serta bisa jadi "teman" yang membantu untuk melihat ulang pengalaman masa lalu dengan kacamata baru.
"Memulihkan diri dari luka pengasuhan itu penting nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga orang lain, terutama ketika memilih jadi orang tua nantinya," tutup dia.