Jakarta (ANTARA) - Patresia Kirnandita mendapat tawaran dari penerbit untuk membuat buku mengenai luka masa kecil setelah artikel-artikel buatannya di media Tirto dan Magdalene menarik perhatian editor.
Tawaran itu membuahkan buku perdananya berjudul "Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa" yang mengangkat tema inner child terluka dan toxic parenting. Kedua tema ini tengah jadi kegelisahan banyak orang yang menyadari bahwa semasa kecil mereka mengalami pengasuhan toksik yang berimbas pada cara hidup mereka di masa dewasa.
Sebelum menulis buku ini, Patres telah menuliskan beberapa artikel di beberapa media tempatnya bekerja mengenai pengasuhan toksik yang dialami dirinya dan beberapa orang lain.
Betapa cara asuh merusak proses perkembangan seseorang bahkan sampai ia memiliki anak. Luka masa kecil juga tidak akan sembuh hanya karena tahun yang berlalu, ia membekas dalam diri seseorang.
Butuh kesadaran dan pengetahuan untuk mengakui bahwa luka itu masih ada dan memengaruhi hidupnya. Jika tidak, maka luka itu akan diteruskan pada keturunannya kelak. Luka masa kecil yang tidak tersembuhkan akan berlanjut menjadi toksik parenting.
Siklus ini hanya dapat berhenti jika sebuah generasi mulai menyadari isu ini dan mau membicarakannya secara terbuka. Dengan demikian, membicarakan luka masa kecil merupakan upaya untuk menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan.
Patres yang bertahun-tahun terjun sebagai jurnalis di berbagai media mengaku sama sekali tidak terpikir untuk membuat buku, tapi setelah ditawari dia menyadari mungkin saja ada orang lain yang juga punya pengalaman serupa soal luka masa kecil, tapi merasa sendirian dan tidak diakui."Jadi, saya berpikir bahwa tulisan ini bisa aja membantu mereka nggak merasa begitu lagi, dan buat awareness bagi teman-teman juga yang struggling dengan inner child issues atau saat jadi orang tua dengan masih membawa trauma," kata Patres kepada ANTARA.
Dalam buku bergenre psikologi setebal 248 halaman ini, Patres mengajak pembaca untuk bersikap terbuka dan mengakui bahwa pengasuhan toksik bisa berdampak panjang pada kehidupan orang dewasa. Patres menggunakan cerita-cerita pribadinya sebagai cermin atas pengalaman banyak orang.
"Tentunya saya nggak berpretensi jadi pakar psikologi atau parenting dalam menulis. Saya membagi sebagian pengalaman sendiri dan kawan-kawan, lalu mengelaborasinya dengan sejumlah referensi psikologi dengan gaya tulisan jurnalistik sesuai background pekerjaan saya," papar lulusan Universitas Indonesia ini.
Cerita pribadinya adalah pengalaman universal semua orang. Meski demikian, naskah ini tidak terjebak pada cerita pribadi saja, melainkan juga disertai dengan referensi ilmu psikologi sebagai acuan bagi pembaca. Dengan demikian, format buku ini adalah semi personal literatur dan keilmuan psikologi.“Seperti halnya banyak penulis lain yang mengisahkan pengalaman hidup mereka, saya ingin menelanjangi diri lewat tulisan ini, menjadikannya rentan terhadap apa pun setelah sekian lama membangun benteng dengan kawat berduri. Jelas saja ini tidak mudah karena berkaitan dengan keluarga sendiri,” ujar Patres.
Meski menulis artikel adalah makanan sehari-hari untuknya, menulis buku ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkali-kali dia merasa buntu karena rasa sakit yang muncul saat mengulas pengalaman masa lalu. Ia pun kerap meragukan pikiran sendiri sehingga harus bolak-balik baca referensi dan konsultasi dengan psikolog.
"Lalu di tengah masyarakat yang sekarang mulai familier dan sering memakai istilah 'toksik', tentu ada kritik soal itu: sedikit-sedikit bilang toksik," katanya.
"Dalam menulis ini saya bukannya mau mengglorifikasi atau asal tuding tiap orang tua salah sedikit itu toksik, bukan sama sekali mau mendemonisasi orang tua juga. Bagaimanapun, enggak ada yang 100 persen hitam putih termasuk orang tua."
Ia hanya ingin berbagi sudut pandang lain sebagai seorang anak yang bisa jadi mewakili sebagian anak lainnya yang sering bungkam dan lama membawa-bawa trauma.
Ia berharap buku ini dapat memberi perspektif kepada pembaca yang merasa punya luka di masa lampau yang belum sembuh, serta bisa jadi "teman" yang membantu untuk melihat ulang pengalaman masa lalu dengan kacamata baru.
"Memulihkan diri dari luka pengasuhan itu penting nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga orang lain, terutama ketika memilih jadi orang tua nantinya," tutup dia.