Bandung (ANTARA) -
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memiliki tujuh guru besar baru setelah dilengkapi empat profesor dikukuhkan lagi menjadi guru besar pada bidangnya masing-masing di Gedung Achmad Sanusi, Kampus UPI Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Rektor UPI Prof Solehuddin mengatakan ketika akademisi menjadi guru besar maka predikat kepakaran pun bakal melekat sehingga kepakaran itu perlu diwujudkan dalam bidangnya masing-masing.
"Namun tentu kepakaran yang kita wujudkan itu harus berbasis pada moralitas," kata Solehuddin.
Adapun empat profesor yang dikukuhkan menjadi guru besar itu yakni Prof Dr Endang Rochyadi sebagai Guru Besar UPI Bidang Ilmu Pendidikan Khusus Anak dengan Hambatan Intelektual, lalu Prof Dr Nandang Rusmana sebagai Guru Besar UPI Bidang Bimbingan dan Konseling.
Kemudian Prof Dr Tatang Muhtar sebagai Guru Besar UPI Bidang Ilmu Pedagogi Olahraga, dan Prof Dr Ayi Suherman yang juga dikukukan sebagai Guru Besar UPI dalam Bidang Ilmu Pedagogi Olahraga.
Sebelumnya pada Selasa (23/11/2021), UPI telah mengukuhkan tiga profesor di bidangnya masing-masing.
Sementara itu, Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Prof Karim Suryadi mengatakan label guru besar itu perlu dijadikan bab baru bagi kehidupan akademis para profesor tersebut.
"Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada kita untuk memberikan sumbangan permanen bagi perkembangan teknologi," katanya.
Adapun dalam pengukuhan tersebut, empat guru besar yang baru dikukuhkan itu menyampaikan risetnya masing-masing sesuai dengan bidangnya.
Prof Dr Endang Rochyadi dalam risetnya yang berjudul Intervensi Anak dengan Hambatan Intelektual dalam Perspektif Pendidikan Khusus, menjelaskan hambatan intelektual disinyalir akibat penggunaan prinsip dengan cara-cara lama.
"Cara-cara lama tidak lagi sejalan dengan filosofi intervensi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Endang.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terkait masalah interevensi berbasis keluarga, menurutnya menunjukan hasil yang signifikan terhadap perubahan perilaku dan sikap penerimaan keluarga terhadap kondisi anaknya menjadi sangat terbuka.
"Di sisi lain perkembangan belajar anak baik secara akademik maupun perkembangan dapat diaktualisasikan keluarga dengan baik," katanya.
Sementara itu, Prof Dr Nandang Rusmana menyampaikan risetnya dengan judul Konseling Permainan Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Riset itu menjelaskan manfaat permainan untuk mengatasi risiko risiko psikologis yang dialami oleh individu yang mengalami peristiwa kebencanaan.
Menurutnya, penanganan terhadap individu yang mengalami gangguan kecemasan pasca trauma dapat menggunakan beragam model termasuk pendidikan, exposure, eksplorasi perasaan dan keyakinan dan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
"Asumsi yang mendasari penggunaan konseling melalui permainan ialah bermain merupakan cara alamiah anak untuk mengekpresikan kebutuhan, serta melalui bermain pula anak secara simbolis dapat mencoba mengatasi ketakutan dan trauma yang mereka alami," kata Nandang.
Kemudian riset yang berjudul Rekonstruksi Pendidikan Jasmani di Indonesia: Sebuah Upaya Mengokohkan Kontribusi Pendidikan Jasmani dalam Membangun Karakter Bangsa disampaikan oleh Prof Dr Tatang Muhtar.
Dalam riset tersebut, menurutnya penekanan pendidikan karakter dalam dunia olahraga sangat penting untuk diperhatikan para akademisi dan praktisi. Pasalnya, ia menilai kini banyak tindakan tidak sportif dalam kegiatan olahraga.
"Hal ini merupakan sinyalemen bahwa proses pendidikan jasmani dianggap masih gagal membangun karakter bangsa," kata Tatang.
Lalu Prof Ayi Suherman juga menyampaikan risetnya yang berjudul Transformasi Kurikulum Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di Sekolah Dasar (Sebuah Kajian Reflektif Implementasi Kurikulum 2013).
Menurutnya transformasi dalam kurikulum ini, dimaksudkan agar perubahan dan pengembangan kurikulum membawa makna pada perubahan, perbaikan dan upaya pengembangan.
Pasalnya ia menilai kurikulum yang kini diterapkan cukup memiliki sejumlah dampak kurang baik. Sehingga para implementator atau guru tidak fokus kepada inovasi baru, melainkan hanya kepada tugas administratifnya.
"Oleh karena itu diperlukan keberanian dalam mentrasformasikan kurikulum," kata Ayi.
Menurutnya, hal tersebut harus dikelola dengan baik sesuai tahapan pembelajaran yang meaningful mulai perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi pembelajarannya.
"Sehingga sasaran pembelajaran terjadinya keseimbangan antar domain kognitif, afektif dan psikomotor sebagai sasaran belajar dapat dicapai dengan efektif," kata dia.
Baca juga: Universitas Pendidikan Indonesia kukuhkan tujuh guru besar baru