Bima Arya, sebagaimana dalam keterangan resmi di Kota Bogor, Kamis, menyampaikan pernyataan tersebut saat berbicara dalam Dialog Nasional Pemenuhan Hak dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tingkat Kota pada Festival HAM 2021 di Kota Semarang, Rabu (17/11).
Wali Kota Bogor itu mengungkapkan konflik sosial, agama dan politik yang menguat di sejumlah negara di dunia membuat mereka terpecah belah seperti contohnya Kota Aleppo, Suriah dan konflik akibat hak individu yang hilang di Ukraina, Eropa Timur.
"Sejarah dunia memberikan kita banyak sekali pelajaran. Banyak peradaban kota yang maju, yang hebat, yang dibangun cukup lama dengan teknologi yang canggih dengan keterampilan yang jauh melebihi rata-rata, tetapi kemudian hancur dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena konflik sosial, konflik agama, konflik politik," ujar Bima Arya.
Bima Arya menyeru para kepala daerah, khususnya yang tergabung dalam APEKSI untuk berjuang menggerakkan kolaborasi agar terbangun peradaban kota yang terbuka dan inklusif.
"Perbedaan adalah keniscayaan, karena keberagaman adalah keharusan, tetapi kebersamaan dan persatuan harus terus kita perjuangkan. Mari kita terus berkolaborasi membangun kota yang inklusif, kota yang memanusiakan manusia," katanya.
Bima menyebut teknologi yang canggih, infrastruktur yang dahsyat bisa hancur sekejap karena konflik.
Jadi, menurut dia, membangun kota bukan hanya membangun lembaganya, bukan hanya perangkat politiknya, bukan hanya infrastrukturnya, tetapi membangun kota adalah membangun manusianya yang menghormati sesama manusia.
Ia mengatakan membangun generasi adalah mendemonstrasikan keberpihakan kepada minoritas agar mereka merasa ikut memiliki kota yang dicintai.
"Membangun generasi adalah menyelesaikan persoalan hukum. Walaupun ditekan kelompok ekstrim. Membangun generasi adalah menciptakan ruang terbuka publik yang nyaman bagi semua," kata Bima.
Tekanan politik
Bima Arya tidak memungkiri tantangan kepala daerah memang berat dalam memperjuangkan kepemimpinannya yang visioner, menjangkau pembangunan dan berkontribusi membentuk generasi dengan peradaban yang maju.
Tantangan itu berasal dari demokrasi liberal menyebabkan target-target politik yang diemban kepala daerah memunculkan pemimpin yang orientasinya jangka pendek, populisme, menelurkan kebijakan-kebijakan yang populer saat itu tapi belum tentu berdimensi jangka panjang.
"Targetnya mungkin dukungan politik. Targetnya mungkin membangun kekuatan politik di kalangan tertentu. Tapi berbahayanya bisa terjebak ke dalam narasi politik-politik sektarian yang jauh dari target kita membangun manusia dan memuliakan manusia," katanya.
Beban pemimpin itu, sambung Bima, mulai dari tekanan massa, demonstrasi atas nama agama, isu-isu hukum yang bercampur dengan politik sehingga berat untuk melangkah.
Disamping itu, semua warga baik mayoritas maupun minoritas perlu merasakan kotanya menjadi tempat saling berbagi, apapun pilihan pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan presiden (pilpres).
Sementara, lanjut Bima, bagi para kepala daerah memanusiakan manusia dan menjamin hak minoritas tanpa terkecuali adalah kewajiban yang paling utama.
"Terdengar berat, tapi sejatinya kita semua punya tradisi luhur. Punya nilai lokal yang mengalir dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, yakni kebersamaan dalam keberagaman," ujarnya.
Bima berpendapat itulah investasi sosial dari para pendahulu di setiap daerah untuk membangun peradaban kota, untuk membangun kota yang inklusif, membangun kota untuk semua warga.