Jakarta (ANTARA) - Ketua Humas Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Evry Joe mengungkapkan rasa syukur atas penganugerahan pahlawan nasional yang akan diberikan untuk pelopor perfilman Usmar Ismail.
“Alhamdulillah, usulan teman-teman sineas perfilman Indonesia itu dikabulkan. Kami merasa bersyukur telah dikabulkan dan pada tanggal 10 November akan mendapat pengukuhan dari Presiden RI,” kata Evry kepada ANTARA, Jumat.
Ia mengatakan pihaknya bersama dengan asosiasi perfilman yang bermarkas di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) telah mengusulkan Bapak Perfilman Indonesia itu agar dinobatkan menjadi salah satu pahlawan nasional, terutama di dunia perfilman. Usulan tersebut, kata Evry, sudah diajukan sejak lebih dari lima hingga sepuluh tahun yang lalu.
Evry bersama keluarga dari pihak Usmar Ismail juga sempat bertemu dengan Anies Baswedan ketika ia masih menjabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyampaikan usulan tersebut.
Selain Usmar Ismail, pemerintah juga akan memberikan gelar pahlawan nasional untuk tiga tokoh lainnya, yakni Tombolotutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, dan Raden Aria Wangsakara dari Banten.
Gelar akan dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 10 November 2021 yang bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional.
Pada Juli, penyelenggara Festival Film Indonesia (FFI) juga telah mengumumkan akan menggelar malam puncak pada 10 November 2021 sebagai momentum untuk mendorong agar Usmar Ismail diangkat sebagai pahlawan nasional.
Usmar Ismail dikenal sebagai pelopor film modern Indonesia. Hari pertama syuting film “Darah dan Doa” (1950), yakni 30 Maret, diperingati sebagai Hari Film Nasional. Ia telah menyutradarai berbagai karya di antaranya yang terkenal adalah "Harta Karun" (1949), "Enam Djam di Djogja" (1951), "Lewat Djam Malam" (1954), "Tiga Dara" (1956), "Anak Perawan di Sarang Penjamun" (1962), dan sebagainya.
Selain dunia perfilman, Usmar Ismail juga merupakan sastrawan yang telah melahirkan sejumlah karya tulis, seperti naskah drama “Mutiara dari Nusa Laut” (1943) serta kumpulan puisi Puntung Berasap (1950).
Di dunia jurnalistik, ia juga merupakan wartawan yang mendirikan Harian Patriot, redaktur majalah bulanan Arena, Gelanggang, serta pernah bekerja di Kantor Berita Antara dan menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).
Baca juga: Presiden anugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh, siapa saja?
Baca juga: Enam tokoh terima gelar pahlawan nasional
Baca juga: Hidayat Nur Wahid dukung pemberian gelar pahlawan kepada KH Ahmad Sanusi