Jakarta (ANTARA) - Regdanvimab menjadi terapi antibodi monoklonal pertama di Indonesia yang diindikasikan untuk terapi penyembuhan bagi pasien COVID-19, ujar seorang pejabat di perusahaan farmasi Dexa Group.
"Studi preklinik 'in vitro dan in vivo' menunjukkan bahwa regdanvimab berikatan kuat dengan receptor binding domain SARS-CoV-2 dan secara signifikan menetralisasi virus varian 'wild type' dan varian mutan yang menjadi perhatian (variants of concern) termasuk varian Alpha atau B117," ujar Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dr Raymond Tjandrawinata melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad.
Raymond mengatakan studi preklinik pada model 'in vivo', regdanvimab secara efektif mengurangi viral load SARS-CoV-2 dan peradangan di paru-paru yang dialami pasien.
Ia mengatakan Dexa Group sebagai perusahaan farmasi di Indonesia sudah mendapatkan izin Emergency Used Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk mengimpor dan menghadirkan RegkironaTM dengan kandungan regdanvimab ke Indonesia secara berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit dan dokter untuk perawatan pasien COVID-19.
"RegkironaTM sebagai salah satu pilihan obat antivirus COVID-19 untuk pasien COVID-19 di Indonesia telah melalui uji klinik fase III dengan hasil positif," katanya.
Pada hasil uji klinik fase I dan II global untuk regdanvimab atau RegkironaTM menunjukkan keamanan, tolerabilitas, efek antivirus, dan profil efikasi yang menjanjikan pada pasien dengan gejala COVID-19 ringan hingga sedang.
Menurut Raymond RegkironaTM merupakan suatu terapi pengobatan antibodi monoklonal yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal Korea Selatan, Celltrion Healthcare, sebagai obat untuk pasien COVID-19 di Indonesia.
"Terapi pengobatan antibodi monoklonal regdanvimab dihadirkan untuk menurunkan risiko rawat inap pada pasien COVID-19 dengan komorbid dan juga mengurangi risiko kematian hingga 72 persen," ujarnya.
Perusahaan biofarmasi yang berkantor pusat di Incheon , Korea Selatan, Celltrion Healthcare mengumumkan data efikasi dan keamanan regdanvimab berdasarkan uji klinik fase III global pada pertengahan Juni 2021.
"Hasilnya menunjukkan bahwa pengobatan antibodi monoklonal anti-COVID-19, regdanvimab (RegkironaTM), memenuhi semua primary end point dan key secondary end point pada pasien dengan gejala COVID-19 ringan hingga sedang," katanya.
Dikatakan Raymond penelitian tersebut menunjukkan bahwa RegkironaTM secara signifikan mengurangi risiko rawat inap atau kematian sebesar 72 persen untuk pasien yang berisiko tinggi berkembang menjadi COVID-19 yang berat hingga hari ke-28.
RegkironaTM juga secara signifikan mengurangi risiko rawat inap atau kematian sebesar 70 persen pada semua pasien.
“Mekanisme kerja regdanvimab adalah dengan mengikat Receptor Binding Domain atau RBD dari spike protein SARS-COV-2, kemudian menghambat interaksi dengan reseptor seluler tubuh atau ACE2 sehingga mencegah masuknya virus ke dalam sel tubuh dan mencegah infeksi SARS-CoV-2,” katanya.
Raymond menambahkan pasien yang diobati dengan regdanvimab (RegkironaTM) dilaporkan memiliki waktu pemulihan klinis yang secara signifikan dipersingkat setidaknya 4,7 hari lebih cepat untuk pasien yang berisiko tinggi berkembang menjadi COVID-19 yang berat dan 4,9 hari lebih cepat dibandingkan dengan plasebo untuk semua pasien.
"Pengobatan itu meringankan gejala berat COVID-19 pada 70 persen pasien, termasuk kelompok berisiko tinggi dengan komorbid," katanya.
Ia mengatakan regdanvimab juga memberikan efek terapeutik terhadap virus varian B1351 atau varian Beta, dan telah dipublikasikan dalam jurnal Biochemical and Biophysical Research Communications.
"Data preklinik 'in vivo' terbaru menunjukkan aktivitas netralisasi yang kuat dari regdanmivab terhadap virus SARS-CoV-2 varian Delta," ujarnya.
Selain menunjukkan efektifitas in vivo terhadap varian Delta dan Beta, kata Raymond, regdanvimab juga menunjukkan hasil positif terhadap varian Gamma yang sebanding dengan wild type SARS- CoV-2.
"Regdanvimab juga menunjukkan kemampuan netralisasi yang kuat terhadap varian Lambda (C.37) dalam studi uji pseudovirus berbasis sel yang dilakukan oleh National Institutes of Health (NIH), Amerika Serikat," katanya.
Baca juga: Varian Delta di India 8 kali kurang peka terhadap antibodi vaksin, apa akibatnya
Baca juga: Antibodi vaksin COVID China kurang efektif melawan varian Delta
Baca juga: Pembentukan antibodi butuh waktu setelah vaksinasi dosis kedua