New York (ANTARA) - Dolar AS sedikit menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB) dan mencatat kenaikan mingguan kedua, setelah beberapa hari bergejolak ketika mata uang bergerak bersama selera risiko yang berubah, serta pasar mengalihkan fokus ke pertemuan Federal Reserve minggu depan.
Namun, beberapa analis bertanya-tanya apakah reli dolar baru-baru ini mungkin akan kehilangan momentum.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap sekeranjang enam mata uang utama saingannya, sedikit lebih tinggi pada Jumat waktu setempat di 92,873. Untuk minggu ini, indeks dolar naik 0,1 persen, setelah menguat 0,6 persen pekan sebelumnya.
Tapi indeks dolar turun dari tertinggi 3,5 bulan di 93,194 yang dicapai pada Rabu (21/7/2021), didukung oleh laporan laba emiten Wall Street yang kuat, yang membantu investor mendapatkan kembali kepercayaan di tengah kekhawatiran bahwa varian virus corona Delta dapat menggagalkan pemulihan global.
Selera risiko tetap tinggi pada Jumat (23/7/2021), dengan kenaikan saham AS, aksi jual di obligasi pemerintah, keuntungan di sebagian besar mata uang komoditas, dan greenback turun dari puncaknya.
"Osilator jangka menengah dan momentum seimbang pada aspek positif menunjukkan potensi kenaikan yang tinggi akan datang, seperti 94,30-94,72 (pada indeks dolar)," kata Dave Rosenberg, kepala ekonom dan ahli strategi di Rosenberg Research.
Dia juga mengutip potensi "Golden Cross" dalam indeks dolar, pola grafik di mana rata-rata pergerakan 50 hari melintasi di atas rata-rata pergerakan 200 hari, sebuah sinyal bullish.
“Secara keseluruhan, (indeks) dolar condong ke arah kenaikan lebih lanjut yang dapat menambah tekanan baru-baru ini pada harga-harga komoditas dan mata uang lainnya. Support ada di 92,00-91,50,” kata Rosenberg.
Sejauh Juli ini, dolar telah naik 0,6 persen, setelah melonjak 2,8 persen pada Juni.
Posisi dolar AS di antara investor jangka pendek dalam pekan yang berakhir 20 Juli telah berbalik ke posisi beli bersih untuk pertama kalinya sejak Maret 2020.
Namun, Erik Nelson, ahli strategi makro di Wells Fargo Securities di New York, tidak yakin dolar dapat mempertahankan kenaikannya dalam beberapa minggu mendatang mengingat penurunan imbal hasil obligasi AS.
"Dolar terlihat lelah terutama setelah reli beberapa minggu terakhir," katanya. “Sepertinya kehabisan tenaga baik dari perspektif fundamental maupun teknikal.”
Sejak awal Juli, imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang dijadikan acuan telah kehilangan 18 basis poin, penurunan bulanan terbesar sejak Maret 2020. Dolar biasanya bergerak seiring dengan imbal hasil AS.
Nelson juga percaya The Fed akan menjadi lamban di antara bank-bank sentral dalam melakukan normalisasi kebijakan moneter.
Fokus utama investor berikutnya adalah pertemuan kebijakan dua hari Fed minggu depan. Sejak pertemuan 16 Juni, ketika para pejabat Fed menghapus referensi ke virus corona sebagai beban ekonomi, kasus telah meningkat.
Banyak ekonom masih memperkirakan pertemuan akan memajukan diskusi untuk pengurangan stimulus.
Terhadap safe-haven yen, dolar naik 0,3 persen menjadi 110,54 yen. Sementara itu, euro datar di 1,1775 dolar, menunjukkan sedikit reaksi terhadap survei manajer pembelian yang keluar dari Prancis, Jerman dan zona euro secara keseluruhan.
Aktivitas bisnis zona euro berkembang pada laju bulanan tercepat dalam lebih dari dua dekade pada Juli karena pelonggaran lebih banyak pembatasan COVID-19 memberi dorongan pada jasa-jasa, tetapi kekhawatiran gelombang infeksi lain memukul kepercayaan bisnis.
Baca juga: Harga emas jatuh 3,6 dolar AS terseret kenaikan imbal hasil dan "greenback"
Dolar AS menguat pada minggu kedua jelang pertemuan Fed
Sabtu, 24 Juli 2021 8:01 WIB