Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Kegaduhan politik di Kabupaten Jember, Jawa Timur, ternyata masih belum usai, meskipun pesta demokrasi lima tahunan melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) telah sukses dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Calon bupati Jember petahana Faida yang maju dalam jalur perseorangan dan jargon "rekom rakyat" gagal mendapatkan kursi bupati kembali karena harus tersingkir dari pasangan calon Hendy Siswanto-Muhammad Balya Firjaun Barlaman (Hendy-Firjaun).
Setelah kalah dalam pilkada, Bupati Jember Faida kembali melanjutkan kepemimpinan-nya bersama Wakil Bupati Jember A. Muqit Arief yang tersisa dua bulan lagi atau masa jabatannya akan habis pada Februari 2021.
Di sisa masa jabatannya, Bupati perempuan pertama di Jember itu justru melakukan mutasi belasan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jember, bahkan ada beberapa pejabat yang dimutasi itu tidak diberi jabatan (non-job) atau dibebastugaskan dari jabatannya.
Penggantian pejabat tersebut tentu menyulut kemarahan para ASN, apalagi kebijakan penggantian pejabat tersebut tidak mematuhi surat edaran Surat Edaran Mendagri tanggal 23 Desember 2020 Nomor 820/6923/SJ tentang larangan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota yang melaksanakan Pilkada Serentak 2020.
Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa dalam rangka tertib administrasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak Tahun 2020, maka gubernur, bupati dan wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat sampai dengan dilantik-nya kepala daerah terpilih hasil pilkada.
Ratusan ASN Pemkab Jember menyatakan mosi tidak percaya kepada Bupati Faida dengan menggelar apel dan menandatangani surat pernyataan mosi tidak percaya di aula PB Sudirman kantor pemkab setempat, pada 30 Desember 2020.
Pernyataan mosi tidak percaya ratusan ASN Jember tersebut disaksikan oleh Wakil Bupati Jember A. Muqit Arief didampingi Sekretaris Kabupaten Mirfano.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Sosial Jember Widi Prasetyo didapuk untuk membacakan pernyataan sikap mosi tidak percaya saat kegiatan apel ASN tersebut.
Ia mengatakan ASN wajib memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat.
Kemudian mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Para ASN juga menyampaikan bahwa pelaksanaan manajemen ASN wajib berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Untuk mewujudkan ASN sebagai bagian dari reformasi birokrasi, lanjut dia, perlu ditetapkan ASN sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerja-nya dan menerapkan prinsip 'merit' dalam pelaksanaan manajemen ASN.
Widi menjelaskan perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Jember terutama dalam praktik manajemen ASN menunjukkan adanya deviasi, distorsi, dan disorientasi sehingga mengharuskan Mendagri dan Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) menerbitkan rekomendasi untuk mencabut produk hukum KSOTK.
Selain itu rekomendasi produk administrasi mutasi pejabat yang melanggar ketentuan perundangan dan sistem 'merit', serta menyebabkan DPRD Kabupaten Jember mengeluarkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) berupa pemakzulan Bupati Jember.
Menurutnya sikap dan tindakan bupati selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) dalam menindaklanjuti rekomendasi Mendagri dan KASN, serta HMP DPRD Kabupaten Jember yang penuh dengan intrik politik, jauh dari ketaatan dan kepatuhan serta kelayakan yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang kepala daerah terhadap keputusan pejabat berwenang.
Bupati juga melibatkan beberapa ASN ke dalam drama akrobatik pelanggaran demi pelanggaran dalam menyelenggarakan manajemen ASN sehingga berujung pada ketidakpastian pola karier ASN, kegaduhan sosial, kegaduhan politik dan terganggunya pelayanan publik di Jember.
Mosi tidak percaya itu juga dipicu kebijakan Bupati Faida telah membuat keputusan dan penyalagunaan wewenang, serta menabrak regulasi yang berlaku secara gegabah dengan mengabaikan norma-norma sosial, mengabaikan keberlangsungan pelayanan publik dan mengabaikan hak-hak kepegawaian ASN.
Bupati Jember juga membebastugaskan beberapa pejabat tanpa alasan yang dapat diterima akal sehat, tanpa melalui prosedur dan norma administrasi kepegawaian yang sesuai dengan ketentuan perundangan, serta mengangkat pelaksana tugas yang tidak memenuhi syarat administrasi kepegawaian.
Kemudian mengangkat pelaksana tugas pada jabatan-jabatan yang masih ada pejabat definitif-nya tanpa melalui proses yang sesuai dengan ketentuan perundangan.
Ia mengatakan kebijakan Bupati Jember juga melanggar surat edaran Mendagri tanggal 23 Desember 2020 Nomor 820/6923/SJ tentang larangan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota yang melaksanakan Pilkada Serentak 2020.
"Dengan berbagai pertimbangan itu, ASN Jember menyampaikan mosi tidak percaya atas kepemimpinan Bupati Faida dan menolak semua kebijakan-nya yang bertentangan dengan ketentuan perundangan," katanya.
Para ASN Pemkab Jember juga meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut kewenangan Bupati Jember selaku pejabat pembina kepegawaian berdasarkan PP No. 17 tahun 2020.
Sekretaris Kabupaten Jember Mirfano mengatakan mosi tidak percaya yang dilakukan ratusan ASN merupakan akumulasi banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati Faida.
"Kami ingin menegakkan aturan dan melakukan tata kelola pemerintahan dengan baik yang selaras dengan pemerintah pusat," ujarnya.
Pihaknya mencatat ada 13 mutasi yang dilakukan pada pekan ini dan ada pejabat yang dibebastugaskan secara tidak prosedural, sehingga hal itu melanggar aturan.
Sementara Bupati Faida saat dikonfirmasi enggan berkomentar menanggapi mosi tidak percaya ratusan ASN Pemkab Jember dan buru-buru meninggalkan wartawan untuk masuk ke mobil dinasnya.
Pemprov Jatim turun tangan
Pernyataan mosi tidak percaya ratusan ASN Pemkab Jember kepada Bupati Faida bertepatan dengan kunjungan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersama rombongan pejabat Pemprov Jatim ke RS Paru Jember, sehingga beberapa pejabat Pemprov Jatim langsung menggelar rapat terbatas di Kantor Bakorwil Jember pada Rabu (30/12).
Saat itu juga pejabat Pemprov Jatim menggelar rapat terbatas dengan memanggil Sekda Jember Mirfano dan sejumlah pejabat Pemkab jember yang dihadiri oleh Kepala Biro Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah Jawa Timur Jempin Marbun, Kepala Inspektorat Jatim Helmy Perdana Putra, Kepala Biro Hukum Jatim Lilik, dan Kepala BKD Jatim Nurkholis.
Dalam rapat tersebut menghasilkan beberapa poin yakni keputusan Bupati Faida yang menunjuk pelaksana tugas (Plt) tertanggal 28 Desember 2020 semuanya dinilai tidak sah dan batal demi hukum, sehingga kepala OPD yang sah tetap dapat melaksanakan kegiatan pelayanan ataupun administrasi seperti biasa.
Kemudian Gubernur Jatim akan mengambil langkah pembatalan semua surat keputusan (SK) yang ditandatangani Bupati Faida setelah menerima surat laporan dari wakil bupati atau Sekda Jember.
Pernyataan mosi tidak percaya yang dilakukan oleh ratusan ASN menjadi bahan pertimbangan utama pengambilan keputusan baik di Pemprov Jatim maupun Kemendagri.
Selanjutnya untuk para pejabat yang dirugikan dapat menggugat ke PTUN dan juga bisa melakukan pelaporan adanya dugaan pidana pemilu.
Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Jatim Jempin Marbun mengatakan mutasi jabatan yang dilakukan oleh Bupati Faida dinilai cacat hukum dan tidak sesuai prosedur, sehingga tidak sah.
Menurutnya mengangkat dan memberhentikan Sekda Jember itu harus mendapat izin dan persetujuan dari Mendagri dan Gubernur, namun hal tersebut tidak ada izin sama sekali.
"Kami menilai kebijakan yang diambil Bupati Faida cacat hukum dan cacat prosedur, sehingga bisa dibatalkan karena kebijakan pejabat yang ditunjuk oleh bupati tidak sah secara hukum," tutur-nya.
Pimpinan DPRD Jember pun langsung menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk menyampaikan kondisi yang terjadi di Jember.
Wakil Ketua DPRD Jember Ahmad Halim mengatakan kebijakan Bupati Faida yang melakukan mutasi belasan pejabat selama beberapa hari terakhir yang dinilai menyalahi aturan karena dilakukan saat Mendagri memberikan larangan kepada kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat yang di daerah-nya melaksanakan Pilkada Serentak 2020.
DPRD Jember meminta bantuan Gubernur Jatim untuk melakukan koordinasi dengan Mendagri terkait penyelesaian persoalan birokrasi di Jember karena ratusan ASN kini menyatakan mosi tidak percaya kepada Bupati Faida.
"Kami meminta Gubernur Jatim dan Mendagri untuk membatalkan SK mutasi yang dilakukan Bupati Faida, sehingga belasan pejabat tersebut kembali ke jabatannya semula," ujarnya.
Bupati Jember Faida dimosi tidak percaya oleh ASN menjelang HUT Ke-92 Kabupaten Jember pada 1 Januari 2021 dan sempat dimakzulkan oleh DPRD Jember menjelang masa akhir jabatannya, meskipun pemakzulan melalui hak menyatakan pendapat itu ditolak oleh Mahkamah Agung.
Pengamat politik FISIP Universitas Jember Rachmat Hidayat PhD menilai mosi tidak percaya ASN Jember kepada bupati-nya karena adanya krisis kepemimpinan dan politik birokrasi.
Ia juga menilai adanya mosi tidak percaya ASN kepada Bupati Faida di akhir kepemimpinan-nya menunjukkan bahwa kepemimpinan Bupati Faida buruk selama lima tahun memimpin Kabupaten Jember.