Jakarta (ANTARA) - Regulasi yang mengatur tentang pemecatan pegawai negeri sipil dan karyawan badan usaha milik negara di China atas pelanggaran pembatasan jumlah anak akan dicabut seiring dengan revisi kebijakan kependudukan dan keluarga berencana di berbagai daerah.
Ini sesuai dengan perkembangan zaman di tengah penurunan angka kelahiran dan meningkatnya kelompok masyarakat usia tua, demikian komentar media setempat, Rabu.
Per 22 September 2020 Pemerintah Daerah Otonomi Guangxi secara resmi mengamandemen regulasi tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah Otonomi Ningxia pada Juni.
Jauh hari sebelumnya, beberapa daerah di China lainnya, seperti Provinsi Guangdong dan Provinsi Hainan, juga telah membatalkan aturan pemecatan PNS dan karyawan BUMN yang melanggar ketentuan pembatasan jumlah anak.
Sejak 2016, semua pasangan suami-istri di China diizinkan memiliki dua anak. Kebijakan tersebut mengakhiri kebijakan satu anak yang sudah berlangsung selama 40 tahun.
Program keluarga berencana yang diperkenalkan di China pada era 1970-an itu membatasi setiap pasutri punya satu anak.
Namun pada 2013, pimpinan Kongres Rakyat Nasional (NPC) atau lembaga legislatif China melonggarkan kebijakan keluarga berencana tersebut dengan mengizinkan pasutri memiliki anak kedua jika salah satu dari pasangan tersebut pernah memiliki seorang anak.
Dengan jumlah penduduk China pada 2019 telah mencapai angka 1,4 miliar jiwa, maka angka kelahiran di China sangat rendah dalam tujuh dekade terakhir.
Data Biro Statistik Nasional per Januari 2020, jumlah kelahiran baru berkurang 580.000 menjadi hanya 14,65 juta bayi dengan angka kelahiran 10,48 orang per 1.000 penduduk.
Dalam sensus keenam pada 2010 hasilnya jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas mencapai 177,6 juta jiwa atau sekitar 13,3 persen populasi China.
Pada tahun 2019, NPC meninjau kembali ketentuan dalam peraturan daerah yang menyatakan PNS dan karyawan BUMN dengan anak lebih dari satu akan dipecat.
NPC berpendapat bahwa sanksi tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi terbaru kependudukan dan perkembangan sosial ekonomi.
NPC kemudian mengusulkan kepada pemerintah daerah agar mulai mengamandemen peraturan tersebut.
Sayangnya, penghapusan kebijakan yang secara bertahap berlaku sejak 2016 tersebut belum menarik minat pasutri di China untuk menambah momongan.
"Tambah anak itu berarti, tambah biaya hidup, tambah kesibukan. Tidak cocok dengan tuntutan ekonomi sekarang," kata perempuan bermarga Liu yang bekerja sebagai PNS kepada ANTARA belum lama ini.
Dengan satu anak gadis saja, lanjut dia, biaya hidup, termasuk biaya pendidikan dan kursus-kursus keterampilan sudah sangat tinggi.
Mengingat adanya fenomena seperti itu dan banyak anak muda di China yang tidak mau menikah atau memiliki anak, sejumlah pengamat mendorong pemerintah setempat lebih banyak membuat kebijakan baru agar pasutri memiliki anak guna mengatasi persoalan demografi di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Baca juga: China ingatkan negara Asia untuk waspada terhadap strategi AS
Baca juga: China laporkan kasus lokal COVID-19 pertama setelah dua bulan
Baca juga: Peraturan baru tetapkan CIA sebagai penyelenggara ibadah haji di China