Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menegaskan ekspresi kebebasan berpendapat harus dilakukan secara proporsional dan bertanggungjawab agar tidak mencederai hak asasi orang lain.
"Setiap individu harus menghormati pranata sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Setiap aktualisasi dari kebebasan berpendapat selalu ada konsekuensi dari apa yang disampaikan, sehingga harus bisa dipertanggungjawabkan. Inilah yang dimaksud dengan konsep kebebasan yang bertanggung jawab," ujar Ketua MPR dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Ia menyampaikan itu saat memberikan sambutan pada sarasehan untuk negeri "Mengungkap Batasan 'Samar' tentang Kebebasan Berpendapat" yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia secara virtual, di Jakarta, Sabtu.
Ketua ke-20 DPR ini menjelaskan kebebasan berpendapat setiap individu dibatasi oleh dua hal, pertama adalah kebebasan individu lain, dan kedua adalah peraturan perundang-undangan.
"Batas yang pertama lebih bersifat subjektif karena setiap individu mempunyai keberagaman tolok ukur dalam memaknai ketersinggungan ego masing-masing. Karena itu, diperlukan batas kedua yaitu peraturan perundang-undangan agar kebebasan individu tidak melanggar kebebasan individu lainnya," kata dia.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menuturkan, kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar dan tolok ukur kehidupan demokrasi yang sehat.
Salah satu sarana yang dapat dijadikan rujukan untuk mengukurnya, kata dia, adalah melalui Indeks Demokrasi yang diolah dari tiga aspek, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.
Ia mengatakan, Indeks Demokrasi Indonesia dari 2009 hingga 2020 telah mengalami pasang-surut dan dinamika.
Selama kurun waktu tersebut, penurunan Indeks Demokrasi terjadi pada periode 2010, yakni dari angka 67,3 menjadi 63,17, pada 2012 dari angka 65,48 menjadi 62,63, pada 2015 dari angka 73,04 menjadi 72,82, dan pada 2016 dari angka 72,82 menjadi 70,09.
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada awal Agustus 2020, Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 74,92 dalam skala 0 sampai 100 atau meningkat dari tahun 2019 sebesar 72,39," ucap dia.
Namun, lanjut Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini, peningkatan Indeks Demokrasi tidak serta merta mengindikasikan bahwa kebebasan berpendapat juga mengalami perbaikan, karena kebebasan berpendapat hanya sebagian dari elemen-elemen penyusun indeks demokrasi.
Selain Indeks Demokrasi, ucap dia, indikator lain yang dapat dirujuk dalam mengukur kebebasan berpendapat, adalah kebebasan pers. Menurut catatan lembaga pemantau Reporters Withour Borders, indeks kebebasan pers Indonesia pada 2020 meningkat ke posisi 119 dari posisi 2019 di posisi 124.
"Kita mensyukuri peningkatan ini, namun di sisi lain kita perlu mawas diri, karena posisi itu tidak lebih baik dari Timor Leste di posisi 78 atau Malaysia di posisi 101," kata dia.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menyatakan, berbagai kasus yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat, semisal aksi demo atau unjuk rasa, sangat mungkin terjadi karena beberapa kemungkinan.
Pertama, ketidaktahuan terhadap berbagai peraturan perudang-undangan terkait, khususnya ketika peraturan perundang-undangan yang baru diterbitkan belum tersosialisasikan secara optimal.
Kedua, kurangnya literasi hukum publik dalam memahami berbagai ketentuan perundang-undangan. Apalagi ketika batas-batas kebebasan berpendapat tersebut terkesan samar dan multitafsir.
"Di sinilah pentingya membangun kedewasaan politik semua pemangku kepentingan, baik aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum, maupun masyarakat agar lebih bertanggung jawab dalam mengekspresikan pendapat," ujar dia.
"Dalam konteks pengaturan kebebasan berpendapat, penting kita bangun cara pandang yang sama, bahwa aturan tersebut dibuat untuk memberikan jaminan dan melindungi hak-hak setiap warga negara. Karena itu, kebebasan berpendapat harus diekspresikan secara bertanggung jawab," kata dia.
Baca juga: Ketua MPR RI minta penanganan COVID-19 di Jadetabek dievaluasi menyeluruh
Baca juga: Ketua MPR: Berkembang propaganda dan hoaks diskreditkan UU Cipta Kerja