Jakarta (ANTARA) - Istilah the world's first registered coronavirus vaccine, vaksin virus corona pertama di dunia yang telah terdaftar, sering tak lepas sebagai nama belakang Sputnik V dalam setiap publikasi Rusia sejak bulan lalu.
Pada 11 Agustus 2020, Presiden Vladimir Putin membuat pengumuman bahwa Rusia menjadi negara pertama di dunia yang memberikan persetujuan regulasi terhadap vaksin COVID-19 yang dikembangkannya itu.
"Saya yakin bahwa vaksin ini bekerja dengan cukup efektif, membentuk imunitas yang kuat, dan sekali lagi saya katakan bahwa vaksin ini telah lolos semua pemeriksaan yang dibutuhkan," ujar Putin kala itu.
Namun, pengumuman itu muncul kurang dari dua bulan setelah Sputnik V--serupa nama satelit pertama dunia yang diluncurkan oleh Uni Soviet--diuji klinis kepada manusia, itu pun belum semua tahap pengujian dijalankan.
Saat ini Rusia tengah melakukan uji klinis tahap III dengan melibatkan sekitar 40.000 orang relawan di dalam negeri dan sejumlah negara yang telah bekerja sama, antara lain Filipina, Meksiko, Brazil, untuk mengkaji keamanan penggunaan Sputnik V.
Tepat satu bulan usai vaksin COVID-19 itu teregistrasi, Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF)--pengelola program pengembangan vaksin negara itu--mengumumkan pihaknya telah meneken perjanjian dengan Negara Bagian Bahia, Brazil, untuk memasok vaksin ke sana.
Sebanyak 50 juta dosis Sputnik V sudah dipesan, dan pengirimannya diperkirakan akan dimulai pada November 2020, menunggu persetujuan dari otoritas Brazil dengan mempertimbangkan hasil uji klinis yang masih berlangsung.
Sebelumnya, pada 9 September 2020 RDIF juga telah sepakat dengan perusahaan farmasi Meksiko untuk memasok 32 juta dosis Sputnik V, yang setara dengan vaksinasi untuk 25% populasi negara itu.
Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) sebagai lawan main Rusia dalam panggung politik internasional, yang masih menjadi negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di dunia, juga tak mau kalah.
Berdasarkan publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 September 2020, dari 35 kandidat vaksin COVID-19 dari seluruh dunia yang sudah masuk tahap uji klinis, setidaknya ada enam kandidat vaksin dari enam perusahaan farmasi AS.
Di antaranya, ada Pfizer bersama BioNTech yang baru saja mengajukan permohonan kepada Lembaga Makanan dan Obat AS (FDA) untuk memperluas uji klinis tahap III mereka kepada 44.000 relawan dengan peningkatan pada keberagaman peserta.
Dalam sebuah dokumen tertanggal 2 September 2020, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) meminta otoritas di negara bagian untuk membagikan vaksin COVID-19 kepada kelompok sangat rentan sebelum November tahun ini.
Permintaan tenggat waktu tersebut dikaitkan dengan kepentingan Presiden Donald Trump, yang kembali maju sebagai kandidat presiden petahana, sebelum pemilihan umum yang dijadwalkan pada 3 November 2020.
Pakar penyakit menular di AS, Anthony Fauci, sebelumnya telah berulang kali menyebut bahwa penyebaran vaksin yang belum terbukti aman dan efektif melalui pengujian klinis akan memunculkan risiko yang tak bagus.
"Salah satu bahaya yang mungkin terjadi jika kita menyebarkan vaksin secara prematur adalah bahwa hal itu akan membuat sulit, atau bahkan menjadikan tak mungkin, kandidat vaksin lain untuk mendaftarkan uji klinis mereka," kata Fauci.
Saling lempar kritik
Di luar tuduhan mengenai keterkaitan antara tenggat waktu penyebaran vaksin dalam negeri dan pemilihan umum AS, Menteri Kesehatan Alex Azar justru mengatakan pengembangan vaksin bukan soal kecepatan namun keamanan--ketika merespons persetujuan vaksin Rusia.
"Ini bukanlah perlombaan menjadi yang pertama. Ini adalah tentang menggunakan segenap kemampuan pemerintah AS dan industri biofarmasi agar secepat mungkin kami dapat menyediakan vaksin untuk masyarakat AS, juga masyarakat dunia," kata dia, sehari setelah pengumuman Putin.
Menyusul komentar itu, Azar juga mempertanyakan tentang publikasi hasil penelitian dan pengujian terhadap Sputnik V, dengan menyebut, "data dari uji coba tahap awal belum dibuka ke publik, sehingga tidak transparan."
Sejumlah perusahaan farmasi dan para ilmuwan Barat meragukan pula hal-hal terperinci dalam pengembangan vaksin Rusia. Misalnya, dr. Larry Corey yang mengkhawatirkan Sputnik V membuat penggunanya mempunyai peningkatan risiko infeksi HIV.
Corey menyatakan hal itu berdasar pada riset perusahaan Merck pada 2004 yang ia pimpin tentang kerentanan terhadap HIV pada orang yang mendapat vaksin berbasis serotipe adenovirus 5 (Ad5)--basis yang sama digunakan pada Sputnik V.
Institut Gamaleya sebagai lembaga penelitian Rusia yang melakukan pengembangan Sputnik V, lewat dr. Denis Logunov, membantah keresahan ilmuwan AS tersebut, dengan menyebut "riset itu tak lain hanyalah berita bohong."
Pimpinan RDIF Kirill Dmitriev menyatakan bahwa vaksin Rusia dengan platform human adenovirus terbukti memunculkan respons imun dan aman untuk penggunanya berdasarkan hasil uji klinis, serta balik mempertanyakan keamanan vaksin AS yang berbasis chimpanzee adenovirus (ChAd) atau mRNA.
Pola persaingan lama
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, memandang pengembangan vaksin COVID-19 oleh negara-negara besar sebagai kejadian geopolitik--di samping upaya untuk menyelamatkan nyawa umat manusia.
"Sepanjang sejarah, pandemi menjadi sebuah kekuatan yang mengakselerasi tren geopolitik," kata Shofwan. Ia menambahkan bahwa di tengah wabah global yang masih berlangsung saat ini, vaksin adalah jalan keluar satu-satunya.
"Negara-negara melihat siapa yang keluar dari pandemi dengan luka paling sedikit, apalagi dapat menawarkan vaksin bagi banyak negara lain, jelas akan mendapat kenaikan pengaruh internasional yang kuat," ujar dia.
Shofwan menilai bahwa terdapat "bias Barat" dalam kritik yang dilayangkan AS kepada Rusia atas Sputnik V. Jika Rusia unggul dalam penciptaan vaksin ini, AS sebagai negara adikuasa tentu akan menghadapi konsekuensi besar terkait posisinya pada perpolitikan dunia.
Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa pendapat para pakar kesehatan mengenai hal teknis dalam penelitian vaksin Rusia juga tidak dapat dikesampingkan karena ada rekam jejak Rusia yang membuat banyak pihak meragukan klaim-klaim semacam itu.
"Pasti ada motivasi geopolitik dari Rusia, tetapi apakah itu adalah penentu utama--sehingga proses vaksin terburu-buru, tidak dapat dipastikan demikian. Bisa saja Rusia memprosesnya dengan benar dan cepat, karena kita tak bisa mengatakan bahwa Rusia tidak mampu melakukan itu," kata Shofwan menyimpulkan.
Ahmad Khoirul Umam, Pengamat Politik Internasional Universitas Paramadina, mempunyai pandangan serupa, menyebut bahwa pengembangan vaksin oleh kekuatan-kekuatan dunia saat ini mendorong karakter geopolitik yang berpusat pada negara, nasionalis, dan proteksionis.
"Setelah Perang Dunia II, negara dalam konteks masyarakat internasional tidak lagi bersifat bipolar [...] AS tetap memimpin, kemudian ada China, Rusia, kita juga tidak bisa menegasikan eksistensi negara-negara Eropa untuk ikut berkompetisi," ujar Umam.
Terkhusus mengenai persaingan antara Rusia dengan AS, dia menyebut bahwa relasi kedua negara sejak usai Perang Dunia II dan Perang Dingin selalu memunculkan ketegangan dan saling curiga.
"Saya kira itu bukan hal baru. Jadi tidak masalah siapa yang meluncurkan tudingan dan kecurigaan, itu hanya 'bunga-bunga' saja. Yang terpenting adalah siapa yang mampu membuktikan," tutur Umam.
"Jika di antara keduanya ada yang mampu menemukan formula vaksin yang tepat dan dapat diaplikasikan di berbagai negara, maka dialah pemenangnya," kata Umam memungkasi.