Garut (ANTARA) - Sejumlah pengusaha angkutan barang dan penumpang di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengeluhkan pembatasan pembelian bahan bakar solar bersubsidi sehingga banyak kendaraan tidak beroperasi.
"Kami harap pembatasan solar ini dapat dikaji lagi, terutama untuk kendaraan angkutan barang," kata pengusaha angkutan truk pasir Sigit di Kabupaten Garut, Rabu.
Ie menuturkan SPBU di Garut membatasi pembelian solar bersubsidi hanya Rp100 ribu sejak sepekan, akibatnya pemilik kendaraan angkutan barang harus membeli solar nonsubsidi atau jenis dexlite.
"Harga solar nonsubsidi dua kali lipat lebih mahal dari solar bersubsidi," katanya.
Ia mengatakan harga solar jenis dexlite Rp10.200 per liter, sementara bio solar harganya lebih murah yakni Rp5.150 per liter, sehingga pengusaha harus mengeluarkan biaya operasional BBM lebih besar.
Ia mengungkapkan setiap hari kebutuhan solar untuk satu truk sebesar Rp200 ribu sampai Rp250 ribu, namun karena harus membeli solar jenis dexlite pengeluaran menjadi Rp500 ribuan per hari
"Sekarang untuk pembelian bahan bakar solar jadi Rp500 ribu untuk kebutuhan pengiriman barang di dalam kota Garut," katanya.
Keluhan sama tentang pembatasan solar di Garut diungkapkan juga oleh Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Garut, Yudi Nurcahyadi yang telah berdampak berhentinya operasional angkutan penumpang maupun barang.
Menurut Yudi, pembatasan pembelian solar itu ternyata hanya terjadi di Garut dan daerah Priangan Timur yakni Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Pangandaran, sedangkan daerah lain di Jabar tidak dibatasi.
"Kita belum mendapatkan jawaban pasti mengenai kekurangan BBM dan kenapa harus Priangan Timur, di kota kabupaten lain tidak ada pembatasan," katanya.
Ia menambahkan dampak pengurangan bahan bakar jenis solar itu membuat pengusaha angkutan harus menghentikan operasi beberapa kendaraannya karena tidak cukupnya stok solar.
"Karena dibatasi jadi operasional juga terbatas, ini sudah mengkhawatirkan," kata Yudi.
Baca juga: Uji coba: B30 lebih irit dibanding B20