Ratusan canting terlihat tergeletak di ruang tamu sebuah rumah yang terletak di tengah desa Trusmi, di Jalan Buyut Trusmi No 54 Plered, Cirebon, pada suatu siang awal Mei.
Alat untuk membatik itu bukan ditinggalkan begitu saja oleh para pembatiknya, melainkan sebagai cermin bahwa pencedok lilin bercarak itu siap dipakai bilamana diperlukan.
Di rumah itulah sering kali para pelajar yang masih berseragam belajar membatik. Sejumlah pengrajin batik trusmi siap mendampingi siapa saja yang hendak belajar mematik di sana.
Siswa praktek membatik biasanya datang dari Kabupaten Cirebon, Bandung, dan Jakarta, bahkan ketika pertukaran pemuda Indonesia dan Brasil pernah seorang pelajar dari negeri itu datang membatik selama dua minggu, kata Katura AR, pengrajin batik trusmi yang rumahnya menjadi bengkel bagi mereka yang ingin belajar membatik alas Trusmi.
"Kami hanya ada 30 pengrajin batik, tetapi canting untuk membatik ada ratusan guna memenuhi kebutuhan sewaktu-waktu para pelajar ingin praktek," katanya.
Menurut dia, pernah ada 200 siswa datang sekaligus ingin praktek membatik. "Mereka semua kami tampung kendati sebanyak 30 pengrajin kami otomatis tidak bisa berproduksi," katanya.
Kerelaan meluangkan waktu kepada pelajar tersebut, menurut dia, tidak lain karena tekadnya ingin melestarikan batik.
"Batik bukan hanya untuk keluarga, tetapi kalau bisa lebih luas agar batik benar-benar memasyarakat di Indonesia," katanya.
Menurut dia, untuk sementara banyak orang salah kaprah tentang batik. "Seharusnya yang disebut batik itu adalah hasil karya tangan dan cap yang peroses pembuatannya antara lain menggunakan bahan baku lilin," katanya.
Sedangkan yang banyak beredar di masyarakat, menurut dia, adalah kain yang dicetak dengan motif batik. Memang dari segi harga tekstil cetak bercorak batik tersebut bisa lebih murah karena bisa dibuat massal dalam waktu singkat dan dengan bahan baku murah.
"Untuk sementara tahap mengenal batik, bolehlah. Tetapi sesungguhnya seseorang belum mengenakan batik kalau belum memakai batik tulis atau cap," katanya.
Dia mengatakan, dari segi harga batik tulis paling murah Rp 100 ribu dan yang umum dengan kualitas agak bagus di atas Rp 500 ribu untuk satu potong baju.
Berbeda dengan kain cetak bercorak batik yang bisa dibeli dengan harga di bawah Rp50 ribu untuk sepotong baju, katanya.
Karena itu, menurut dia, sebenarnya memakai batik untuk saat ini masih tergolong mahal, tetapi bagi yang mengerti seni akan bangga bahwa itu adalah karya anak bangsa.
Para pendatang yang berkunjung ke sanggar Katura AR, pada umumnya berkometar "ting iling," artinya "kok mahal," karena batik yang dipajang di rumah itu berharga di atas Rp 1 juta.
"Kami juga menyediakan bahan yang harganya di bawah Rp 50 ribu, tetapi itu bukan batik, melainkan tekstil printing bermotif batik," katanya sekadar mengingatkan tamunya.
Penerima penghargaan Upakarti 28 Desember 2009 kategori pelestarian batik dan piagam MURI karena menggambar cerita wayang babad alas ukuran terbesar itu kini memiliki koleksi batik berumur 150 tahun.
"Kami sendiri sudah generasi ke delapan dari nenek moyang pembatik. Tetapi kami hanya memiliki batik berumur sekitar 150 tahun," kata anak ke 12 dari 13 bersaudara kelahiran 1952 itu.
Mengenai motif batik yang hendak dilestarikan, menurut dia, ada sekitar 500 motif dari Kraton maupun batik pesisir.
Ia sengaja tidak mecari motif baru karena ingin melestarikan motif yang sudah ada, tinggal bagaimana mengemasnya secara baik, katanya.
Motif kraton yang dimaksud biasanya berasal dari lingkungan sekitar, benda-benda bersejarah, sedangkan motif pesisir yakni batik yang berciri khas floura dan fauna.
Alasannya, dia ingin melestarikan motif yang sudah ada, sambil mengingat bahwa pembuatan batik asal mulanya penuh dengan filosofi.
Salan satu filosofi yang ada pada motif mega mendung khas Cirebon adalah pakaian itu penuh kesejukan bagi para pemakainya.
"Dahulu setiap pembatik membuat motif itu penuh dengan makna, karena itu setiap batik ada namanya. Berbeda dengan sekarang, mungkin orang sudah tidak mempedulikan nama dan filosofi batik," katanya.
Mengenai pemasaran sejak batik diakui oleh dunia sebagai warisan karya intektual bangsa Indonesia, ia mengaku yang tampak maju pesat adalah batik rakyat.
"Para pendatang ke Trusmi tampak mengingkat, tetapi yang dicari masih sebagai batik yang mampu dibeli rakyat. Hanya beberapa orang yang mencari batik tulis yang benar-benar bekualitas," katanya seraya menambahkan kesiapannya menerima setiap tamu datang, baik yang hendak membeli maupun belajar membatik.
Yasad A
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
Alat untuk membatik itu bukan ditinggalkan begitu saja oleh para pembatiknya, melainkan sebagai cermin bahwa pencedok lilin bercarak itu siap dipakai bilamana diperlukan.
Di rumah itulah sering kali para pelajar yang masih berseragam belajar membatik. Sejumlah pengrajin batik trusmi siap mendampingi siapa saja yang hendak belajar mematik di sana.
Siswa praktek membatik biasanya datang dari Kabupaten Cirebon, Bandung, dan Jakarta, bahkan ketika pertukaran pemuda Indonesia dan Brasil pernah seorang pelajar dari negeri itu datang membatik selama dua minggu, kata Katura AR, pengrajin batik trusmi yang rumahnya menjadi bengkel bagi mereka yang ingin belajar membatik alas Trusmi.
"Kami hanya ada 30 pengrajin batik, tetapi canting untuk membatik ada ratusan guna memenuhi kebutuhan sewaktu-waktu para pelajar ingin praktek," katanya.
Menurut dia, pernah ada 200 siswa datang sekaligus ingin praktek membatik. "Mereka semua kami tampung kendati sebanyak 30 pengrajin kami otomatis tidak bisa berproduksi," katanya.
Kerelaan meluangkan waktu kepada pelajar tersebut, menurut dia, tidak lain karena tekadnya ingin melestarikan batik.
"Batik bukan hanya untuk keluarga, tetapi kalau bisa lebih luas agar batik benar-benar memasyarakat di Indonesia," katanya.
Menurut dia, untuk sementara banyak orang salah kaprah tentang batik. "Seharusnya yang disebut batik itu adalah hasil karya tangan dan cap yang peroses pembuatannya antara lain menggunakan bahan baku lilin," katanya.
Sedangkan yang banyak beredar di masyarakat, menurut dia, adalah kain yang dicetak dengan motif batik. Memang dari segi harga tekstil cetak bercorak batik tersebut bisa lebih murah karena bisa dibuat massal dalam waktu singkat dan dengan bahan baku murah.
"Untuk sementara tahap mengenal batik, bolehlah. Tetapi sesungguhnya seseorang belum mengenakan batik kalau belum memakai batik tulis atau cap," katanya.
Dia mengatakan, dari segi harga batik tulis paling murah Rp 100 ribu dan yang umum dengan kualitas agak bagus di atas Rp 500 ribu untuk satu potong baju.
Berbeda dengan kain cetak bercorak batik yang bisa dibeli dengan harga di bawah Rp50 ribu untuk sepotong baju, katanya.
Karena itu, menurut dia, sebenarnya memakai batik untuk saat ini masih tergolong mahal, tetapi bagi yang mengerti seni akan bangga bahwa itu adalah karya anak bangsa.
Para pendatang yang berkunjung ke sanggar Katura AR, pada umumnya berkometar "ting iling," artinya "kok mahal," karena batik yang dipajang di rumah itu berharga di atas Rp 1 juta.
"Kami juga menyediakan bahan yang harganya di bawah Rp 50 ribu, tetapi itu bukan batik, melainkan tekstil printing bermotif batik," katanya sekadar mengingatkan tamunya.
Penerima penghargaan Upakarti 28 Desember 2009 kategori pelestarian batik dan piagam MURI karena menggambar cerita wayang babad alas ukuran terbesar itu kini memiliki koleksi batik berumur 150 tahun.
"Kami sendiri sudah generasi ke delapan dari nenek moyang pembatik. Tetapi kami hanya memiliki batik berumur sekitar 150 tahun," kata anak ke 12 dari 13 bersaudara kelahiran 1952 itu.
Mengenai motif batik yang hendak dilestarikan, menurut dia, ada sekitar 500 motif dari Kraton maupun batik pesisir.
Ia sengaja tidak mecari motif baru karena ingin melestarikan motif yang sudah ada, tinggal bagaimana mengemasnya secara baik, katanya.
Motif kraton yang dimaksud biasanya berasal dari lingkungan sekitar, benda-benda bersejarah, sedangkan motif pesisir yakni batik yang berciri khas floura dan fauna.
Alasannya, dia ingin melestarikan motif yang sudah ada, sambil mengingat bahwa pembuatan batik asal mulanya penuh dengan filosofi.
Salan satu filosofi yang ada pada motif mega mendung khas Cirebon adalah pakaian itu penuh kesejukan bagi para pemakainya.
"Dahulu setiap pembatik membuat motif itu penuh dengan makna, karena itu setiap batik ada namanya. Berbeda dengan sekarang, mungkin orang sudah tidak mempedulikan nama dan filosofi batik," katanya.
Mengenai pemasaran sejak batik diakui oleh dunia sebagai warisan karya intektual bangsa Indonesia, ia mengaku yang tampak maju pesat adalah batik rakyat.
"Para pendatang ke Trusmi tampak mengingkat, tetapi yang dicari masih sebagai batik yang mampu dibeli rakyat. Hanya beberapa orang yang mencari batik tulis yang benar-benar bekualitas," katanya seraya menambahkan kesiapannya menerima setiap tamu datang, baik yang hendak membeli maupun belajar membatik.
Yasad A
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010