Jakarta (ANTARA) - Kertas-kertas menumpuk di pojok suatu ruangan berdinding cokelat, sekelompok orang bekerja merapikan kertas-kertas itu ke dalam kardus yang sudah setengah terisi.
Mereka adalah orang-orang yang hasil kerjanya belakangan ini menjadi sorotan publik, yaitu para operator yang memasukkan data untuk Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
Selasa Siang itu, Waldy Rochman termasuk ke dalam kelompok operator penginput data Situng Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta Timur yang tengah bertugas.
Bisa dibilang dia berpengalaman menjadi petugas penghitungan suara Pemilu, sejak dia sudah bertugas pada Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Setiap pemilu saya terlibat. Saat Pemilu 2014, lalu saat pemilihan gubernur. Sebelumnya saya jadi Relawan Demokrasi KPU Jaktim mengajak orang tidak golput, lalu lanjut daftar buat yang masukkan data C1," ujar warga asli Dukuh itu, saat ditemui di Kantor KPU Jakarta Timur.
Menurut dia, menjadi operator input data peristiwa penting laiknya Pemilu dan Pilkada bukanlah beban, tapi pekerjaan yang menyenangkan dan harus dinikmati, meski dia kadang pulang tengah malam untuk memasukkan data dan memindai formulir C1.
"Saya pribadi senang dengan hal seperti ini. Jadi tidak dijadikan beban. Diambil enjoy saja. Rasanya tidak akan terlalu lelah. Walaupun saya sering menerima intimidasi di WhatsApp," kata pria yang sebetulnya berprofesi sebagai instruktur lepas di Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri, Pasar Rebo.
Ia lalu menunjukkan pesan singkat di ponselnya. Isi pesan-pesan itu menuduh petugas yang memasukkan data ke Situng tidak netral dan berat sebelah. Maksudnya, mereka dituduh "membela" salah satu pasangan kontestan yang berlaga pada Pemilu 2019.
Menurut dia, tugas operator Situng adalah memasukkan data secara apa adanya ke situs KPU tanpa mengubah angka meski petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dianggap sering memasukkan angka-angka ke kolom yang salah.
Ia mengatakan, sudah beberapa kali menerima pesan mengintimidasi dan mengejek lewat aplikasi pesan itu. Namun, dia bertekad ingin berkepala dingin dan membalas dengan meminta pengirim pesan melapor jika memiliki bukti kecurangan, bukan hanya berkomentar di media sosial.
"Kenapa saya berani bilang begitu, karena saya yakin kami sudah bekerja sesuai aturan, prosedur, dan kami netral," katanya.
Namun, pesan-pesan intimidasi itu tidak memudarkan semangat Waldy menjadi operator Situng dan cita-citanya untuk terlibat dalam pesta demokrasi berikutnya. "Yang penting itu dinikmati. Dibawa senang saja menjalani prosesnya. Mungkin karena saya suka, ingin lagi terlibat seperti ini," ujarnya.
Prinsip menikmati pekerjaan sebagai operator Situng juga dipegang Ria Fenty, mahasiswi jurusan Ilmu Sosial Politik di Universitas Negeri Jakarta.
Mahasiswi tingkat akhir itu juga menikmati tugas menjadi operator, walau perasaanya sempat terganggu karena di media sosial banyak dibicarakan kesalahan penyelenggara Pemilu 2019 dalam memasukkan data, yang membuat dia semakin berhati-hati dalam memasukkan data. "Berbeban tidak. Tapi semenjak ada yang viral sekarang jadi lebih berhati-hati. Namanya juga manusia pasti ada kesalahan," ujarnya.
Karena kehebohan di media sosial itu, dia sering menerima pesan dari teman dan keluarga yang memperingatkan untuk semakin berhati-hati."Mereka tanya kok bisa salah masukkan data? Ada banyak juga yang kirim pesan untuk lebih hati-hati. Itu juga wajar karena bisa dibilang tanggung jawabnya besar," kata dia.
Waldy dan Ria termasuk dalam kelompok berjumlah 45 orang yang ditugaskan untuk memasukkan data TPS Jakarta Timur, daerah dengan jumlah TPS terbanyak di DKI Jakarta. Jakarta Timur memiliki 8.234 TPS yang mencakup 2.246.279 orang sebagaimana terdapat dalam Daftar Pemilih Tetap.
Selain operator, salah satu petugas yang berperan penting untuk data Situng adalah verifikator yang bertugas mencocokkan data dengan gambar C1 yang dipindai.
Tito adalah salah satu verifikator yang bekerja di KPU Jakarta Timur. Bersama sembilan petugas verifikasi lain dia bekerja dari pagi hingga malam memastikan semua data sesuai dengan yang diberikan kepada pelaksana pemilu. "Kami di (Jakarta) Timur punya 8.000 lebih TPS. Kita harus masukkan tiga jenis formulir. Verifikator harus memeriksa semuanya. Sudah biasa itu lelah mata," katanya.
Baca juga: Situng KPU 58,40 persen: Jokowi-Ma'ruf masih unggul
Menurut Tito, kesalahan sering terjadi karena faktor kelelahan fisik dan masalah teknis, meski sudah menerima empat bimbingan teknis dari KPU, bukan karena kesengajaan. "Kendala kami itu, server yang masih lemah karena ini dari seluruh Indonesia dan kadang-kadang, namanya juga manusia, ada operator yang salah memasukkan data," kata Tito.
Beban berat
Jakarta Timur adalah daerah berpenduduk terpadat di Provinsi DKI Jakarta dengan total 2.843.816 jiwa, menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta pada 2017.
Jumlah masif itu membuat proses penghitungan suara secara manual dan memasukkan data ke situs KPU bukanlah hal yang mudah, demikian disampaikan Ketua KPU Jakarta Timur, Wage Wardana.
Kesalahan, menurut dia, memang terjadi tapi tidak sebesar yang diviralkan di media sosial dan pemberitaan sensasional. "Kami tidak menutup mata bahwa administrasi di TPS masih ada yang kurang baik. Tapi tidak mengesampingkan kinerja yang bagus. Satu TPS membuat kesalahan, tapi 8.233 TPS lain bagus, yang diperbesar pasti yang satu," ujar Wage.
Menurut Wage, penyelenggara pemilu di Jakarta Timur berusaha keras memenuhi jadwal KPU pusat untuk menyelesaikan rekapitulasi manual di 10 kecamatan dan 65 kelurahan di daerah tersebut sebelum pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei 2019.
Sampai berita ini diturunkan baru 7 kelurahan yang menyelesaikan penghitungan berjenjang daerah di Jakarta Timur. Untuk memenuhi target tersebut, petugas-petugas di lapangan sudah berusaha semaksimal mungkin, bahkan sampai rela kurang tidur demi menyelesaikan rekapitulasi manual.
"Rata-rata mereka tidur paling tiga sampai empat jam sehari. Bayangkan, daerah paling padat Kecamatan Cakung itu memiliki hampir 400.000 orang dan hanya ada empat petugas yang mengurus 1.461 TPS," katanya.
Namun, menurut Wage, sebagian besar petugas tetap menjalankan tugas karena rasa pengabdian untuk daerah asal dan negara bukan karena ingin mencari uang.
"Kalau untuk mencari uang mereka tidak akan mau jadi petugas. Hanya karena jiwa pengabdian dan terpanggil untuk negara," katanya.