Bandung (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), Dr Iriana Bakti menyatakan Jawa Barat memerlukan komunikasi lingkungan yang efektif mengingat secara geografis menjadi daerah yang paling sering mengalami cuaca ekstrem dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.
"Karena komunikasi lingkungan merupakan jembatan yang menghubungkan para pemangku kepentingan seperti pemerintah, akademisi, sektor swasta, pegiat lingkungan, dan masyarakat," katanya dalam orasi ilmiahnya dengan topik “Komunikasi Lingkungan Inklusif di Era Krisis Iklim: Strategi Literasi, Partisipasi dan Aksi Kolektif untuk Keberlanjutan" di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kamis.
Dalam acara puncak Dies Natalis ke-65 Fikom Unpad Lustrum XIII tersebut, ia menyatakan komunikasi lingkungan merupakan proses komunikasi yang direncanakan secara strategis untuk mendukung penyusunan kebijakan dan implementasi menuju lingkungan yang berkelanjutan (sustainable).
Dalam praktiknya, kata dia, komunikasi lingkungan melakukan pengkajian tentang bagaimana para pemangku kepentingan mendistribusikan, menerima, memahami dan memanfaatkan pesan tentang lingkungan dan interaksi manusia dengan
lingkungan.
Untuk itu, ia menambahkan informasi tentang perubahan iklim dan mengatasi dampaknya harus dikomunikasikan secara luas dan efektif kepada khalayak yang beragam dan inklusif. Hal ini akan mempengaruhi pelaksanaan dan komunikasi sains terkait perubahan iklim, pengembangan dan rekayasa solusi, edukasi mengenai isu dan tindakan, serta keputusan kebijakan publik yang dapat mempengaruhi sebagian besar masyarakat terdampak.
Ia juga menyoroti Indonesia sedang menghadapi tantangan serius dalam komunikasi lingkungan. Krisis komunikasi lingkungan terjadi Ketika informasi terkait isu-isu lingkungan tidak tersampaikan secara efektif kepada para pemangku kepentingan, sehingga mengakibatkan kurangnya kesadaran publik, rendahnya partisipasi publik, kesalahpahaman terkait isu lingkungan, dan konflik di antara para pemangku kepentingan.
Krisis komunikasi lingkungan bisa juga terjadi, ketika asumsi para penggiat lingkungan bahwa fakta ilmiah dan ekologi meyakinkan dan saling berkaitan. Tetapi apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat dipengaruhi oleh emosi dan sosialisasi, alasan dan pengetahuan mereka.
Harapan yang tinggi bahwa kekuatan pengetahuan dari kata-kata dan citra/kesan akan menyelesaikan masalah yang terjadi. Dengan mengambil jalan pintas dari “ucapan “ ke “tindakan” hambatan komunikasi seringkali tidak diperhatikan.
Berikutnya, disebutkan, konflik kepentingan yang diperebutkan oleh stakeholders tidak dinegosiasikan dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Pendekatan konfrontasi mengakibatkan penyebaran informasi satu arah dengan tidak mempertimbangkan pemahaman, daripada bergantung kepada komunikasi dua arah yang menuju kepada “pemahaman bersama” dan “situasi yang saling menguntungkan”.
Juga keterbatasan praktis yang timbul dari ketiadaan strategi komunikasi menyebabkan kegagalan, katanya.
"Untuk itu perlu penataan kembali aksi komunikasi lingkungan yang efektif," katanya.
