Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan masyarakat tentang dampak gas air mata secara akut hingga kronik bila terkena dalam jangka panjang.
"Pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup," kata dia di Jakarta, Minggu.
Secara umum, gas air mata dapat menimbulkan dampak pada kulit, mata dan paru serta saluran napas.
Gejala akutnya di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi dan sesak napas. Pada keadaan tertentu dapat terjadi gawat napas.
"Masih tentang dampak di paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) maka kalau terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas," katanya.

Lalu, selain di saluran napas maka gejala lain adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Kemudian, pandangan kabur, kesulitan menelan dan dapat terjadi semacam luka bakar kimiawi dan reaksi alergi.
Tjandra menyampaikan dampak tersebut karena beberapa bahan kimia yang digunakan pada gas air mata dapat saja dalam bentuk "chloroacetophenone" (CN), "chlorobenzylidenemalononitrile" (CS), "chloropicrin" (PS), "bromobenzylcyanide" (CA) dan" dibenzoxazepine" (CR).
