Garut (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut melakukan penelusuran terkait adanya dugaan pungutan liar (pungli) program pembangunan sekolah bantuan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk sejumlah sekolah di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Garut Jaya P Sitompul mengatakan, jajarannya sudah mendatangi langsung lokasi pembangunan sekolah, dan juga memeriksa pihak yang bertanggungjawab, hasilnya tidak ada pungli yang ditujukan kepada pihak tertentu seperti Dinas Pendidikan Garut.
"Dari hasil penelusuran tersebut terkonfirmasi bahwa adanya pemberitaan terkait dugaan pungutan dimaksud ternyata tidak terbukti," kata Jayadi saat dihubungi melalui telepon seluler di Garut, Jumat.
Ia menuturkan Kejari Garut melakukan penelusuran itu berdasarkan informasi dari pemberitaan di media massa terkait adanya dugaan pungli program revitalisasi bangunan sekolah di Garut.
Pihak sekolah yang menerima bantuan dari Kemendikdasmen itu, kata dia, langsung dikonfirmasi oleh Kejari Garut kepada Dinas Pendidikan Garut, pihak sekolah penerima manfaat bantuan, dan juga Kemendikdasmen.
"Nama-nama yang ada di pemberitaan itu kang (dikonfirmasi), termasuk pihak dinas kabupaten, dan pihak Direktorat PAUD Kemendiknas," katanya.
Ia menyampaikan penelusuran itu sebelumnya juga sudah lebih awal dilakukan oleh jajaran Polres Garut, namun terkait hasilnya bisa dikonfirmasi ke pihak kepolisian.
Namun untuk hasil penelusuran Kejari Garut, kata dia, menyimpulkan bahwa dugaan pungli bantuan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya di lapangan.
"Dibuktikan sudah dilakukan, tapi ternyata materi pemberitaan tidak terkonfirmasi kebenarannya," katanya.
Adanya pemberitaan di media massa yang terkonfirmasi tidak bisa dibuktikan kebenarannya itu mendapatkan tanggapan serius dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Garut Aep Hendy yang menilai hasil dari penelusuran itu merupakan sudut pandang Kejari Garut.
Aep menyatakan, wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya tentu sudah melalui proses mulai dari pencarian, pengumpulan data, dan konfirmasi sampai membuat laporannya mengedepankan kode etik jurnalistik.
"Wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik tentu tidak akan sembarangan, tentunya verifikasi dan konfirmasi itu merupakan hal penting yang harus dilakukan," katanya.
Termasuk sejumlah wartawan yang memberitakan dugaan pungli program pembangunan sekolah di Garut itu, kata dia, tentu sudah melalui proses yang mengedepankan aturan sebagai wartawan sebelum karya jurnalistiknya dipublikasikan.
Namun akhirnya ada pandangan pemberitaan itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya, kata dia, hal itu sah-sah saja, yang jelas wartawan memiliki data tentang pengakuan penerima bantuan pembangunan sekolah yang diminta untuk menyetorkan uang ke Dinas Pendidikan Garut.
"Sepengetahuan saya wartawan tidak akan sembarangan menulis, termasuk saya sendiri menulis berita tentang dugaan pungli itu, memiliki bukti keterangan dan pihak yang diminta oleh dinas untuk menyetorkan sejumlah uang," katanya.
Sebelumnya, sejumlah pengelola sekolah penerima bantuan program revitalisasi di Kabupaten Garut mengeluhkan adanya permintaan harus menyetorkan sejumlah uang kepada pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.
Salah seorang pengelola sekolah penerima batuan yang meminta indentitasnya tidak disebutkan dalam pemberitaan mengungkapkan di Garut ada sejumlah sekolah setingkat TK yang mendapatkan bantuan dari program Revitalisasi Satuan PAUD Tahap 2 Tahun 2025 seperti untuk pembangunan ruang UKS, sanitasi, area bermain, perlengkapan pembelajaran dan sebagainya.
Bantuan tersebut, kata penerima itu, berasal dari pemerintah pusat melalui Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI dengan besaran bantuan yang diterima sekolah antara Rp200 juta sampai Rp400 juta.
Pihak sekolah yang menerima bantuan itu diminta untuk menyetorkan uang sebesar 15 persen dari besaran dana bantuan yang diterima sekolah ke Dinas Pendidikan Garut.
Adanya permintaan itu membuat pihak sekolah sebagai penerima bantuan keberatan, namun tidak berani menolaknya karena takut ke depannya tidak didaftarkan sebagai sekolah penerima bantuan.
