“Masalahnya adalah 5-10 persen yang ILTB (infeksi latent TB) ini akan menjadi sakit nantinya, terutama dalam 5 tahun pertama sejak dia terinfeksi. Nah pengobatan TB laten ini dapat mengurangi risiko reaktivasi timbul berulang 10-190 persen. Jadi WHO menetapkan ini sejak tahun 2018, ini bukan hanya di Indonesia, ini di seluruh dunia,” katanya.
Tjatur mengatakan cakupan terapi TPT masih sangat rendah sehingga anak yang tidak terlihat sehat bisa berpotensi terjadi sakit TBC berat.
TPT bisa dilakukan pada anak di bawah lima tahun yang tidak sakit TBC, termasuk risiko tinggi, dan tidak ada kontra indikasi dengan obat mulai seminggu sekali, tiga bulan atau enam bulan.
“Setiap bulan kita monitor, anak ini kan sudah terinfeksi. Kita akan cegah, jangan sampai sakit, kalau tiba-tiba nanti dalam perjalanan yang dilakukan profilaktis, dia misalnya jadi batuk-batuk, jadi demam seperti pada gejala klinis TB, nah itu saatnya kita mengobservasi lagi, apakah itu gejala dia batuk-bilak biasa, atau merupakan gejala TB,” kata Tjatur.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengendalian faktor risiko jadi cara cegah penularan TBC