Cirebon (ANTARA) - Matahari siang, pada 11 Desember 2024, memayungi Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, dengan sengatan tajam. Udara panas berpendar di antara kapal-kapal yang bersandar, tetapi ada satu yang paling mencuri perhatian yakni hadirnya Geomarin III.
Kapal survei milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu bukan sekadar raksasa besi yang mengapung, melainkan laboratorium berjalan yang telah bertahun-tahun menjelajahi samudra Nusantara untuk menyingkap misteri yang tersembunyi di kedalaman.
Di dalam anjungan kapal tersebut berdiri seorang pria yang lebih akrab dengan laut dibandingkan daratan. Namamya Ateng, nakhoda yang telah mengabdikan dirinya lebih dari satu dekade untuk menjelajahi perairan Indonesia demi misi ilmiah dan kepentingan bangsa.
Baginya, laut bukan merupakan tempat bekerja, tapi bagian dari kehidupannya. Sejak 2015, ia telah mengendalikan kemudi Geomarin III, membawa kapal ini berlayar menembus badai dan menjelajahi perairan Indonesia.
Ikatan
Ateng tidak asing dengan kehidupan di laut. Sebelum menjadi nakhoda Geomarin III, ia lebih dulu bertugas di Geomarin I, kapal generasi pertama yang kini telah pensiun.
Berlayar bagi Ateng bukan hanya soal mengemudikan kapal, melainkan harus bisa memahami bahasa laut, membaca gelombang, menerka angin, dan merasakan arus yang tak kasatmata.

Namun, laut tak selalu ramah. Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam ingatannya terjadi pada 2018, saat ia dan awak kapalnya berada di Samudra Hindia untuk memasang buoy pendeteksi tsunami di dekat Kepulauan Andaman.
Kepada ANTARA, dia bercerita, saat itu cuaca tampak cerah, tetapi seperti kebiasaan laut yang penuh kejutan, badai besar datang tanpa peringatan. Langit tiba-tiba menggelap, ombak setinggi delapan meter menghantam kapal seperti dinding raksasa.
Dalam situasi seperti itu, kepanikan bisa menjadi musuh terbesar. Ateng tahu bahwa melawan badai adalah kesia-siaan.