Jakarta (ANTARA) - Yang patut disyukuri dari kekalahan 1-2 yang dialami Indonesia dari China di Qingdao, 15 Oktober lalu, adalah para pemain, pelatih, ofisial tim, hingga suporter, sadar bahwa Garuda belum setara dengan tim-tim level atas Asia, setidaknya jika melihat peringkat FIFA.
Indonesia berangkat menuju China dengan emosi tinggi setelah kecewa kepada hasil yang didapatkan di Bahrain satu pekan sebelumnya.
Jay Idzes dan kawan-kawan memandang dua laga tandang melawan Bahrain dan China sangat mungkin mendapatkan enam poin.
Dua tim itu masih jauh di atas Indonesia dalam peringkat FIFA, , namun secara permainan, dua tim tersebut sangat bisa diladeni Indonesia. Bahrain pada peringkat 76 dan China peringkat 91.
Setelah dua poin hilang saat melawan Dilmun's Warriors dan diwarnai aksi kontroversial wasit Ahmed Al Kaf, Indonesia menganggap tiga poin tak boleh lewat di Qingdao.
Sebaliknya, tuan rumah China termotivasi besar untuk bangkit setelah tiga kali kalah berturut-turut.
Saking optimistisnya, Shin Tae-yong memprediksi tim asuhannya akan menang 2-0. Namun, strategi klasik kick and rush yang diterapkan China luput dari analisis pelatih asal Korea Selatan tersebut.
Shin mungkin juga lupa bahwa meski China kalah tiga kali dan menjadi lumbung gol, mereka adalah tim yang pernah bermain dalam Piala Dunia 2002, sehingga potensi mereka bermain bagus tetap ada dan kebetulan hal itu terjadi saat melawan Indonesia.
Strategi yang diterapkan pelatih Branko Ivankovic itu, kata Shin Tae-yong, menyebalkan. Tapi, itulah yang membuahkan tiga poin pertama untuk China.