Jakarta (ANTARA) - Apakah ketika negara berutang semakin besar, kelak rakyat hingga bergenerasi selanjutnya yang akan menanggung bebannya berat tersebut? Pertanyaan itu kerap menjadi diskusi yang menarik di kalangan masyarakat.
Sejatinya, perlu dipahami bahwa pengelolaan utang negara adalah salah satu aspek penting dalam kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendukung pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.
Dana pinjaman dari dalam dan luar negeri digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan belanja sosial yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Hutang Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pelaksanaannya harus dengan persetujuan dan diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana utang negara dikelola sehingga sering timbul kekhawatiran dan kesalahpahaman seperti misalnya bahwa utang negara menjadi beban rakyat yang diturunkan sampai bergenerasi sampai bayi yang baru lahir turut menanggungnya.
Hal yang semacam itu dipercaya oleh masyarakat walaupun sebenarnya adalah argumentasi yang tidak berdasar dan di seluruh dunia tidak ada praktik seperti itu.
Tulisan ini bermaksud untuk memberi pemahaman awam tentang bagaimana utang Negara dikelola.
Pada prinsipnya pengelolaan utang negara itu berpegang pada tiga hal yakni sumber utang, pengelolaan risiko, dan Sustainable Debt Management.
Utang negara berasal dari dua sumber utama yaitu utang domestik. Melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), pemerintah meminjam dana dari investor domestik.
Ini dilakukan dalam rangka pembiayaan APBN dan menjaga keseimbangan fiskal. Utang domestik memiliki keuntungan karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar dan bisa lebih mudah dikelola dalam hal pembiayaan ulang (refinancing) namun bunganya lebih tinggi agar investor tertarik. Utang dalam negeri meliputi sekitar 70 persen proporsi.