Jakarta (ANTARA) - Tentara siber dimaknai sebagai pasukan militer yang menggunakan komputer dan internet untuk menyerang musuh dan melindungi diri. Tentara siber menggunakan metode ini untuk melawan serangan digital pada sistem dan jaringan persenjataan lawannya.
Keamanan siber dewasa ini telah menjadi elemen penting dalam pertahanan dan keamanan nasional suatu negara. Perlindungan terhadap kedaulatan siber dilakukan oleh pasukan ini. Kedaulatan siber berarti bahwa negara memiliki kewenangan dalam batas tertentu untuk merancang aturan, hukum, dan norma tentang perilaku individu, lembaga, aplikasi, dan aktor serta faktor lain di dunia siber (Aschmann, Van Vuuren, & Leenen, 2015).
Jangan sampai kedaulatan ini diinterferensi (diganggu) oleh pihak-pihak luar sehingga menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak nyaman. Aktivitas siber dapat dianggap melanggar kedaulatan negara lain ketika kegiatan tersebut menembus integritas teritorial suatu negara, melakukan campur tangan, ataupun berupaya untuk merampas fungsi pemerintahan yang melekat pada suatu negara.
Menurut Robert Hasan dkk. (2023), kedaulatan siber sebuah negara mencakup tiga aspek: infrastruktur digital, perlindungan data, dan pengendalian konten. Ketiga struktur ini dalam kondisi yang masih membutuhkan perbaikan dan penguatan.
Infrastruktur digital negara berfungsi sebagai kerangka kerja teknologi terintegrasi secara sosial yang diperlukan untuk menyediakan barang, produk, dan layanan digital. Menciptakan lingkungan yang mendukung dan saling terhubung antara operasi bisnis, pertumbuhan, dan inovasi masyarakat.
Situasi saling keterhubungan ini menyebabkan kerentanan data dan informasi, baik pada level individu hingga level negara. Data seseorang dapat tersebar di mana-mana, di berbagai platform digital yang dapat disalahgunakan untuk kejahatan digital. Demikian halnya data milik negara semuanya disimpan dalam bentuk digital yang tersambung ke jaringan internet sehingga posisinya terbuka untuk diserang, dicuri, dan disalahgunakan.
Kerentanan yang lain disebabkan oleh tidak terkontrolnya konten-konten di media sosial yang dapat mengekstraksi dan mendestruksi alam pikir warga negara sehingga menyebabkan kekacauan. Hampir setiap momentum dapat di-framing oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk mengampanyekan agendanya, membangun kelompok yang saling berlawanan, dan terorisme.
Kurang kuatnya ketiga bangunan kedaulatan siber tersebut menempatkan Indonesia pada posisi yang paling rawan dalam serangan siber. Berdasarkan data dari National Cyber Security Index (NCSI) pada 2023, secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-49 dari 176 negara, masih berada di bawah skor rata-rata dunia yang mencapai 67,08 poin.
Meski secara indeks mengalami kemajuan, bukan berarti kedaulatan digital kita tidak terancam. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat 74 juta anomali trafik dari Januari hingga Mei 2024, dan lebih dari 44 juta adalah aktivitas malware.
Telaah - Mencari relevansi dan bentuk Tentara Siber Indonesia
Selasa, 10 September 2024 12:40 WIB