Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Meski demikian, DPR RI dan Pemerintah menepis tudingan telah menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ambang batas pencalonan partai politik untuk mengusung calon pada pilkada melalui revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang disetujui dalam Pembicaraan Tingkat I pada hari Rabu (21/8).
“Masyarakat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum dan kebijakan, yang dilakukan oleh para elit politik, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, maupun lembaga perwakilan rakyat dan penyelenggara pemilu," kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
"Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan,” sambungnya.
Adapun pada hari ini akan dilaksanakan demonstrasi oleh masyarakat sipil yang berpusat di depan Kantor DPR RI.
Demonstrasi ini ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.
Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional warga negara Indonesia untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi.