Karena ilmunya menangani inflasi itu, lanjut Tito, menurut pakar Universitas Harvard cuma satu instrumen dan berlaku di seluruh dunia, yaitu pengendalian bunga bank.
“Ketika kemudian terjadi inflasi tinggi maka suku bunga dinaikkan, begitu suku bunga dinaikkan maka produksi akan turun, demand (permintaan) juga akan turun, otomatis inflasi akan turun. Tapi ketika inflasi terlalu rendah, maka bunga juga akan direndahkan supaya demand akan naik. Ilmunya itu,” papar Tito.
Namun, Tito mengaku bahwa penjelasan itu tidak disetujui oleh Presiden saat itu. Bahkan Kepala Negara langsung menginstruksikan kepada Mendagri agar menangani inflasi seperti mengatasi wabah pandemi COVID-19.
“Pak Jokowi bilang enggak, kita pake ilmu yang lain, ilmu COVID-19. Semua seluruh dunia tidak ada yang ahli COVID, karena COVID yang terakhir sekali pandemi adalah pada saat tahun 1927 artinya 100 tahun lebih,” ungkap Tito.
Presiden lalu memerintahkan Mendagri memetakan per wilayah mulai rumah sakit mana yang penuh, daerah dengan kasus meninggal terbanyak, hingga kasus positifnya tertinggi dikategorikan merah.
Sementara, untuk wilayah di luar kategori itu diberi tanda kuning, dan hijau. Bagi yang kuning bisa bergerak, namun masih ada sejumlah pembatasan sedangkan hijau bisa bergerak bebas.
Kebijakan itu diambil sebagai langkah menyeimbangkan antara penanganan COVID-19 dengan pengendalian ekonomi. Karena ada negara yang kencang dan berhasil menangani COVID-19 tetapi ekonominya kolaps.
Ilmu itu kemudian yang diminta oleh Jokowi untuk diterapkan terhadap penanganan inflasi. Dan Presiden juga meminta semua pemangku kepentingan berkumpul setiap daerah dicek dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS).