Tetapi, menurut Novi, kebiasaan tidak baik dari orang tua atau lingkungan sekitar bisa diputus rantainya dengan adanya peran dari pemerintah sebagai pembuat peradaban baru melalui pendidikan formal.
Di sekolah, pembelajaran social emotional learning (SEL), seperti yang dilakukan di negara-negara maju, dapat menjadi kunci untuk menciptakan perubahan positif.
Jika anak-anak mendapatkan cara berpikir baru di sekolah, kebiasaan di rumah mereka dapat terhapus dengan sendirinya. Etika tidak hanya sebatas akademis, melainkan dapat ditanamkan melalui pendidikan yang melibatkan diskusi dan dialog.
Oleh karena itu, pendidikan formal dan peran guru menjadi krusial dalam memberikan pelatihan untuk belajar berdialog, bukan sekadar memberikan materi pembelajaran.
Di negara-negara maju, pendidikan etika sudah menjadi pondasi di tingkat SD, sementara di tingkat SMP dan SMA, etika sudah menjadi bagian dari warga negara.
Pemerintah perlu mengubah orientasi pendidikan untuk membangun peradaban baru, bukan hanya mengejar ketertinggalan nilai numerasi dan literasi. Negara seperti Vietnam, kata Novi, bahkan sudah tidak lagi mengukur numerasi dan literasi sebagai prioritas utama.
Semua pihak memiliki peran masing-masing dalam mengatasi krisis etika ini. Memperbanyak ruang interaksi dan dialog menjadi hal yang sangat penting. Orang tua perlu memiliki keterampilan seperti mendengar dan berkonsekuensi, yang akan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan etika anak-anak.
Dalam merangkai kebijakan pendidikan, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk merombak sistem pendidikan yang lebih memperhatikan aspek moral dan etika.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat melangkah menuju arah yang lebih etis, beradab, dan bertanggung jawab, sehingga krisis etika yang tengah melanda dapat diatasi secara komprehensif.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Konser Coldplay jadi alarm krisis etika di Indonesia