Jakarta (ANTARA) - Sebuah hasil studi mengenai dispensasi perkawinan anak baru saja dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Yayasan Plan Indonesia awal pekan ini.
Hasilnya? Studi yang bertajuk “Quo Vadis Kepentingan Terbaik bagi Anak dalam Putusan Dispensasi Kawin” tersebut mencatat tingginya angka permohonan dispensasi perkawinan anak di Indonesia, yakni sebesar 65 ribu pengajuan pada 2021 dan 55 ribu pengajuan pada 2022.
Selain itu, studi juga menganalisis sejauh mana anak memiliki ruang aman untuk menyampaikan pendapatnya di hadapan hakim tanpa adanya tekanan. Lalu, apa saja layanan yang diterima oleh anak setelah permohonan dispensasi disetujui, serta sejauh mana anak dan orang tua memahami dampak perkawinan anak.
Direktur Influencing yayasan itu, Nazla Mariza, menilai studi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan hakim dalam proses mengadili permohonan dispensasi perkawinan anak.
“Keterlibatan MA, KemenPPPA, anak pelopor, pemerintah daerah, serta stakeholder lainnya dalam peluncuran studi ini sangat penting untuk membangun kolaborasi ke depan untuk meninjau kembali efektivitas implementasi Perma No.5 tahun 2019 dalam upaya menekan angka perkawinan anak,” terangnya.
Salah satu temuan utama studi ini adalah keputusan dispensasi sangat ditentukan oleh interpretasi hakim yang berbeda terhadap kepentingan terbaik bagi anak.
Hakim yang memiliki sertifikat hak anak cenderung mempertimbangkan hak-hak anak sebagai dasar keputusannya. Akan tetapi, norma jender dan norma sosial yang tidak selalu sejalan dengan pemenuhan hak anak, ternyata masih memengaruhi keputusan hakim.
Selain mengulas perspektif hakim, studi yang dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2022 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi ini juga mengkaji perspektif anak dan orang tua.
Salah seorang pendidik sebaya dari Kabupaten Sukabumi, Resi Ajhari (18) , menuturkan bahwa anak belum tentu benar-benar memahami dampak perkawinan bagi hidupnya.
"Saya terus berupaya memberikan pemahaman kepada teman-teman di sekolah maupun di desa, tentang dampak perkawinan anak. Ternyata, perlu beberapa kali pemahaman diberikan kepada kawan yang berniat menikah di usia anak, hingga ia kemudian paham dan membatalkan niatnya,” selorohnya.