Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menilai mafia beras pantas dijerat hukuman yang setimpal dengan upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara atau subversi karena sama-sama mengancam stabilisasi dan keamanan negara.
“Saya bilang kalau untuk kepentingan negara itu bisa kena UU Subversi, kalau saya ya, tapi nanti tergantung pendalamannya karena masalah kehidupan, berbahaya untuk stabilisasi dan keamanan negara,” ujar Budi Waseso kepada media di Gedung Bulog Jakarta, Jumat.
Dirut Bulog yang akrab disapa Buwas tersebut menilai hukuman yang menjerat para mafia beras seperti yang baru saja diungkap oleh Satgas Pangan Polda Banten, terlalu ringan.
Sebanyak 7 orang tersangka yang melakukan penyimpangan distribusi 350 ton beras untuk dijual dengan harga lebih mahal di tengah stok beras yang terbatas hanya dijerat Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar dan Pasal 382 bis KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 dan atau Pasal 56 KUHP dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
“Kalau menurut saya perlu (dihukum lebih berat)," tegasnya.
Upaya penyelewengan distribusi beras tersebut terjadi di tengah upaya pemerintah melalui Bulog untuk melakukan stabilisasi harga dan stok pangan.
Pemerintah terpaksa mengimpor 500 ribu ton beras guna mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri jelang panen raya yang baru akan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2023.
Namun para mafia beras dengan sengaja melakukan berbagai modus demi keuntungan pribadi.
Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto dalam konferensi pers di Polda Banten, Jumat, menyampaikan modus yang dilakukan mafia beras adalah repacking beras Bulog menjadi beras premium dengan berbagai merek, mengoplos beras Bulog dan beras lokal, menjual beras diatas harga HET, memanipulasi delivery order dari distributor maupun mitra Bulog, lalu masuk ke tempat penggilingan padi seolah-olah merek sendiri serta monopoli sistem dagang.
Adapun Orde Lama pernah memberlakukan UU Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian tetap diberlakukan Orde Baru. Namun, UU Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi baru dicabut pada 1999, sejalan pemberlakuan UU Nomor 26/1999 Tentang Pencabutan UU Nomor 11/PNPS/1963. Alasan mendasar adalah menciptakan ketidakpastian hukum dan berlawanan dengan HAM.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan mafia beras sengaja memanfaatkan momentum program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan atau operasi pasar dengan membeli beras Bulog untuk dikemas kembali dan dijual dengan harga premium.
“Sudah banyak yang kita turunkan hanya pada akhirnya tidak menurunkan harga pokok, harga beras tetap mahal,” katanya saat Konferensi Pers Penyimpangan Distribusi Beras di Polda Banten, Banten, Jumat.
Dirut Bulog yang akrab dipanggil Buwas menyampaikan bahwa pihaknya sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo telah mengimpor 500 ribu ton beras pada akhir Desember guna menstabilkan pasokan dan harga beras. Beras yang merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) itu pun telah didistribusikan melalui 12 titik provinsi yang sangat membutuhkan beras.
Kendati beras impor yang didatangkan dari Thailand, Vietnam, Myanmar dan Pakistan tersebut merupakan kualitas premium, Bulog tetap menjual dengan harga kualitas medium yakni Rp8.300. Kondisi tersebutlah yang kemudian dimanfaatkan oleh para mafia beras seperti yang telah diamankan oleh Polda Banten. Akibatnya, stok beras masih langka dan harganya masih mahal.
“Memang naluri saya sebagai mantan polisi, saya bilang pasti ada pelanggaran itu kenapa pada saat itu saya sidak dadakan yang tidak direncanakan sehingga saya menemukan pelanggaran itu (di Pasar Induk Beras Cipinang). Seperti persis hari ini ditemukan oleh Polda Banten,” ucapnya.
Berdasarkan temuan Polda Banten, lanjutnya, mafia beras tersebut membeli beras Bulog seharga Rp8.300 kemudian mengemas kembali dengan karung beras kemasan premium berbagai merek dan dijual dengan harga rata-rata Rp12.000.
Bahkan ada indikasi beras-beras tersebut dijual ke Atambua NTT dan diselundupkan ke Timor Leste. Hal tersebut, tegas Buwas, menunjukkan bahwa negara telah berusaha memenuhi kebutuhan masyarakatnya tapi ada oknum yang memanfaatkan.
“Di sisi lain pengusahanya ini mendapat untung yang luar biasa, dia tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat membeli. Mereka hanya mencari keuntungan dan memanfaatkan operasi beras Bulog yang kita laksanakan masif untuk mencari keuntungan setinggi tingginya,” jelas Buwas.
Adapun Satgas Pangan Polda Banten menangkap tujuh tersangka yang melakukan tindak pidana perlindungan konsumen dan persaingan dagang dengan melakukan kecurangan distribusi 350 ton beras Bulog.
Terdapat enam modus yang dilakukan oleh tersangka yaitu repacking beras Bulog menjadi beras premium dengan berbagai merek, mengoplos beras Bulog dengan beras lokal, menjual beras diatas harga HET, memanipulasi delivery order dari distributor maupun mitra Bulog, masuk ke tempat penggilingan padi seolah-olah merek sendiri dan memonopoli sistem dagang.
"Kami menurunkan satgas pangan yang langsung bergerak cepat dengan mengungkap kasus tindak pidana perlindungan konsumen dan persaingan dagang dengan cara mengemas ulang beras Bulog menjadi kemasan merek lain", kata Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto.