Seperti yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo sendiri, persaingan Indonesia di kancah dunia, bukan persaingan dalam teknologi. Sebab, dengan teknologi bangsa ini bisa jadi tertinggal beberapa langkah, namun untuk persaingan yang menjadi khas Indonesia mencakup filosofi, budaya dan nilai, boleh jadi tak ada duanya.
Contoh Sirkuit Mandalika tentu bukan sekadar sirkuitnya, melainkan bagaimana Indonesia dipresentasikan di dalamnya. Secanggih apa pun sirkuit itu dibangun, ia tetap sirkuit, di negara manapun juga ada.
Tetapi sirkuit Mandalika hadir karena mempresentasikan budaya dan cara orang Indonesia. Hal inilah yang menjadi distingsi bangsa ini, sebab itu yang tidak ada di negara lain serta mencerminkan otensitas Indonesia sekaligus seluruh strategi pemasaran dan promosi semestinya bertumpu pada otensitas.
Sirkuit Formula E di Jakarta, bukan pula sirkuitnya, melainkan Jakarta dan Indonesia dipresentasikan di sana. Jadi, semestinya tidak ada pengembangan infrastruktur yang dilakukan, melainkan berpijak pada filosofi, nilai, budaya, dan seni-desain ala Indonesia.
Candi Borobudur, Danau Toba, Raja Ampat, Pulau Komodo, dan masih terlalu banyak disebutkan, terkait tempat dan lanskap pemandangan alam yang memesona lainnya. Belum dari dari fesyen, kuliner, seni, musik, cara khas hidup penduduknya, kerukunan dan indeks kebahagiaannya.
Semua memiliki daya tarik. Tetapi apapun daya tariknya, jika tidak dikomunikasikan, ia hanyalah artefak-artefak yang hampa bagi orang lain. Untuk itu, saatnya bangsa ini menghidupkan Indonesia dengan mempresentasikan kepada dunia, tentang cara dan hidup kita sebagai orang Indonesia.